Rabu, 18 Januari 2017

Psikologi Perkembangan pada fase Remaja Madya



BAB I PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak kepada masa dewasa. Masa remaja juga sebagai usia bermasalah. Akhirnya para remaja mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi remaja menurut Rumke bersumber dari tiga masalah, yaitu: masalah individuasi: kesulitan dalam mewujudkan dirinya sebagai seorang yang dewasa. Regulasi: ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan perubahan di bidang fisik dan seksualnya. Masalah integrasi: kesulitan menyesuaikan sikap dan perilakunya dilingkungannya/ mencari identitas dirinya.

B. Rumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penyusunan makalah ini, sebagai berikut:
1.      Apa pengertian remaja?
2.      Apa saja fase-fase perkembangan pada remaja?
3.      Bagaimana perkembangan remaja dalam perpektif Islam?
4.      Bagaimana pengaruh lingkungan terhadap perkembangan jiwa remaja?
5.      Bagaimana kaitannya perkembangan remaja dengan pendidikan Andragogi?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1.      Untuk memahami pengertian remaja.
2.      Untuk memahami fase-fase perkembangan pada remaja.
3.      Untuk Mengetahui Perkembangan remaja dalam Pserspektif Islam
4.      Untuk memahami pengaruh lingkungan terhadap perkembangan jiwa remaja.
5.      Untuk memahami kaitannya antara perkembangan remaja dengan pendidikan Andragogi.

BAB II PEMBAHASAN

A.    Pengertian Remaja

Menurut WHO (dalam Sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual, ada tiga kriteria yaitu biologis, psikologik dan sosial ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersbut berbunyi, sebagai berikut.
a.       Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
b.      Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
c.       Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Monks sendiri memberikan batasan usia masa remaja adalah masa diantara 12-21 tahun dengan perincian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir.
Menurut Santrock, remaja didefinisikan sebagai periode transisi perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang mencakup aspek biologik, kognitif dan perubahan sosial yang berlangsung antara 10-19 tahun. Masa remaja terdiri dari masa remaja awal (10-14 tahun), masa remaja pertengahan (15-16 tahun) dan masa remaja akhir (17-19 tahun). Yang dimaksud dengan remaja awal (early adolescence) adalah masa yang ditandai dengan berbagai perubahan tubuh yang cepat dan sering mengakibatkan kesulitan dalam menyesuaikan diri, pada saat ini remaja mulai mencari identitas diri. Remaja pertengahan (middle adolescence) ditandai dengan bentuk yang sudah menyerupai orang dewasa. Oleh karena itu, remaja seringkali diharapkan dapat berperilaku seperti orang dewas, meskipun belum siap secara psikis. Pada masa ini, sering terjadi konflik, karena remaja sudah mulai ingin bebas mengikuti teman sebaya. Remaja akhir (late adolescence) ditandai dengan pertumbuhan biologis sudah melambat, tetapi masih berlangsung di tempat-tempat lain. Emosi, minat, konsentrasi dan cara berpikir mulai stabil serta kemampuan untuk menyelesaikan masalah sudah meningkat.[1]
Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi. Salzman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orangtua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.[2]
Di negara-negara Barat, istilah remaja dikenal dengan “adolescence” yang berasal dari kata dalam bahasa Latin “adolescere” (kata bendanya adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa.[3]
Jadi, remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak, terbagi menjadi tiga yaitu, remaja awal, remaja pertengahan dan remaja akhir.

B.     Fase-fase Perkembangan Remaja

A.      Perkembangan Fisik

Perubahan-perubahan fisik merupakan gejala primer dalam pertumbuhan masa remaja, yang berdampak terhadap perubahan-perubahan psikologis (Sarwono). Pada mulanya, tanda-tanda perubahan fisik dari masa remaja terjadi dalam konteks pubertas. Dalam konteks ini, kematangan organ-organ seks dan kemampuan reproduktif bertumbuh dengan cepat. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan mengalami pertumbuhan fisik yang cepat, yang disebut “growth spurt” (percepatan pertumbuhan), dimana terjadi perubahan dan percepatan pertumbuhan di seluruh bagian dan dimensi badan (Zigler dan Stevenson). Pertumbuhan cepat bagi anak perempuan terjadi 2 tahun lebih awal dari anak laki-laki, umumnya anak perempuan mulai mengalami pertumbuhan cepat pada usia 10,5 tahun dan anak laki-laki pada usia 12,5 tahun.[4]
            Remaja Awal
Tabel 1 Ciri-ciri Primer dan Sekunder pada Remaja Awal

Ciri Primer
Ciri Sekunder
Pria
-          Cepatnya pertumbuhan testis (penis mulai bertambah panjang, pembuluh mani dan kelenjar prostat semakin membesar)
-          Mengalami mimpi basah (mimpi berhubungan seksual)
-          Tinggi badan rata-rata sekitar 59 atau 60 inci.
-          Tumbuh rambut rubik/ bulu kapok disekitar kemaluan atau ketiak
-          Terjadi perubahan suara
-          Tumbuh kumis
-          Tumbuh jakun
Wanita
-          Tinggi badan rata-rata sekitar 59 atau 60 inci
-          Matangnya organ-organ seks ditandai dengan tumbuhnya rahim, vagina dan ovarium
-          Mengalami menstruasi pertama
-          Ovarium menghasilkan ovum dan mengeluarkan hormon-hormon yang diperlukan untuk kehamilan
-          Tumbuh rambut rubik/ bulu kapok disekitar kemaluan atau ketiak
-          Bertambah besar buah dada
-          Bertambah besarnya pinggul

           


Remaja Akhir
Tabel 2 Ciri-ciri Primer dan Sekunder pada Remaja Akhir

Ciri Primer
Ciri Sekunder
Pria
-          Testis mencapai ukuran matang
-          Pada usia 18 tahun, tinggi badan rata-rata 69 inci
-          Matangnya semua organ
Wanita
-          Pada usia 18 tahun, tinggi badan rata-rata sekitar 64 inci
-          Semua organ mencapai tingkat kematangan sempurna dan dapat berfungsi maksimal
                          

B.      Perkembangan Kognitif

Masa remaja adalah suatu periode kehidupan di mana kapasitas untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan secara efisien mencapai puncaknya (Mussen, Conger & kagan, 1969). Hal ini adalah karena selama periode remaja ini, proses pertumbuhan otak mencapai kesempurnaan. Sistem saraf yang berfungsi memproses informasi berkembang dengan cepat. Di samping itu, pada masa remaja ini juga terjadi reorganisasi lingkaran saraf prontal lobe (belahan otak bagian depan sampai pada belahan atau celah sentral). Prontal lobe ini berfungsi dalam aktivitas kognitif tingkat tinggi, seperti kemampuan merumuskan perencanaan strategis atau kemampuan mengambil keputusan ( Carol & David R., 1995).
Perkembangan prontal lobe tersebut sangat berpengaruh terhadap kemampuan kognitif remaja, sehingga mereka mengembangkan kemampuan penalaran yang memberinya suatu tingkat pertimbangan moral dan kesadaran sosial yang baru. Di samping itu, anak  muda yang telah memiliki kemampuan memahami pemikirannya sendiri dan pemikiran orang lain, remaja mulai membayangkan apa yang dipikirkan oleh orang tentang dirinya. Ketika kemampuan kognitif mereka mencapai kematangan, kebanyakan anak remaja mulai memikirkan tentang apa yang diharapkan dan melakukan kritik terhadap masyarakat mereka, orang tua mereka, dan bahkan terhadap kekurangan diri mereka sendiri (Myers, 1996).
Kemudian, dengan kekuatan baru dalam penalaran yang dimilikinya, menjadikan remaja mampu membuat pertimbangan dan melakukan perdebatan sekitar topik-topik abstrak tentang manusia, kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan keadilan. Kalau pada masa awal anak-anak  ketika mereka berfikir simbolik, Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksitensinya (Myers, 1996).
a.       Perkembangan Kognitif Menurut Teori Piaget
Pemikiran masa remaja telah mencapai tahap pemikiran opersional formal (formal operational thought), yakni suatu tahap perkembangan kognitif yang dimulai pada usia kira-kira 11 atau 12 tahun dan terus berlanjut sampai remaja mencapai masa tenang atau dewasa (Leaner 7 Hustlsch, 1983). Pada tahap ini anak sudah dapat berfikir secara abstrak dan hipotesis. Pada masa ini, anak sudah mampu memikirkan sesuatu yang akan atau mungkin terjadi, sesuatu yang abstrak.
Pada tahap ini remaja juga sudah mampu berfikir secara sistematik, mampu memikirkan semua kemungkinan secara sistematik untuk memecahkan permasalahan. Anak tahap formal operasional mulai mampu memecahkan masalah dengan membuat perencanaan kegiatan terlebih dahulu dan berusaha mengantisipasi berbagai macam informasi yang akan diperlukannya untuk memecahkan masalah tersebut.
Menurut Adams dan Gullotta (1983), kemampuan untuk mengapresiasi hubungan antara kenyataan dan kemungkinan, kombinasi penalaran, dan hipotesis deduktif tersebut, sejatinya dimaksudkan sebagai aspek-aspek struktural dari pemikiran yang muncul bersamaan dengan pemikiran formal pada semua tugas.
Pengetahuan estetika bersumber dari pengalaman musik, literatur atau seni, sedangkan pengetahuan personal bersumber dari hubungan interpersonal dan pengalaman konkrit. Selanjutnya, kemampuan mengaplikasikan pemikiran formal operasional tidak hanya berkaitan dengan pengalaman belajar khusus, melainkan juga dengan muatan tingkah laku, simbolik, semantik, dan figural. Muatan tingkah laku mencakup tingkah laku nonverbal (seperti; sikap, motivasi, atau intensitas; muatan simbolik meliputi simbol-simbol tertulis; muatan semantik meliputi ide-ide dan pengertian dan muatan figural meliputi representasi visual dari objek-objek konkrit).
Brunch model menunjukkan bahwa kemampuan menggunakan pemikiran formal operasional timbul lebih secara gradual daripada secara orisinal. Pengalaman personal dalam berbagai aspek kehidupan,secara umum mungkin menentukan aplikasi dari pmikiran formal operasional tersebut. Oleh karena itu, remaja mungkin mampu menggunakan pemikiran formal dalam satu mata pelajaran, tetapi tidak pada mata pelajaran yang lain. Akan tetapi, remaja yang lebih dewasa, yang memiliki lebih banyak pengalaman dengan sekolah, hubungan personal, dan kehidupan umumnya, akan memungkinkan untuk mengaplikasikan pemikiran formal operasional pada wilayah yang lebih luas dari kehidupannya (Adams & Gullota, 1983)
b.      Perkembangan pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan (decision making) merupakan salah satu bentuk perbuatan berfikir dan hasil dari perbuatan itu di sebut keputusan. Ini berarti bahwa degan melihat bagaimana seorang remaja mengambil suatu keputusan, maka dapat diketahui perkembangan pemikirannya. Remaja adalah masa di mana terjadi peningkatan pengambilan keputusan. Dalam hal ini mulai mengambil keputusan-keputusan tentang masa depan, keputusan dalam melilih teman, keputusan tentang apakah melanjutkan kuliah setelah tamat SMU atau mencari kerja, keputusan untuk  mengikuti les bahasa Inggris atau Komputer, dan seterusnya.
Dalam hal pengambilan keputusan ini, remaja yang lebih tua ternyata lebih kompeten daripada remaja yang lebih muda, sekaligus lebih kompeten dibandingkan anak-anak. Dibandingkan anak-anak, remaja yang lebih muda cenderung menghasilkan pilihan-pilihan, menguji situasi dari berbagai perspektif, mengantisipasi akibat dari keputusan-keputusan, dan mempertimbangkan  kredibilitas sumber-sumber. Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan remaja yang lebih tua, remaja yang lebih muda memiliki kemampuan yang kurang dalam keterampilan pengambilan keputusan (Santrock, 1995).
Meskipun demikian, keterampilan pengambilan keputusan oleh remaja yang lebih tua seringkali jauh dari sempurna, dan kemampuan untuk mengambil keputusan tidak menjamin bahwa keputusan semacam itu akan dibuat dalam kehidupan sehari-hari, dimana luasnya pengalaman sering memainkan peran yang sangat penting. Untuk itu, remaja perlu memiliki lebih banyak peluang untuk mempraktekkan dan mendiskusikan pengambilan keputusan yang relaistis. Banyak keputusan-keputusan dunia nyata yang terjadi di dalam atsmosfir yang menegangkan, yang meliputi faktor-faktor seperti hambatan waktu dan keterlibatan emosional. Salah satu strategi untuk meningkatkan keterampilan pengambilan keputusan remaja terhadap pilihan-pilihan dalam dunia nyata, seperti masalah seks, obat-obatan, dan kebut-kebutan di jalan adalah dengan mengembangkan lebih banyak peluang bagi remaja untuk telibat dalam permainan peran dan pemecahan masalah kelompok yang berkaitan dengan kondisi-kondisi semacam itu di sekolah.
Tidak jarang remaja terpaksa mengambil keputusan-keputusan yang salah karena di pengaruhi oleh orientasi masyarakat terhadap remaja dan kegagalannya untuk memberi remaja pilihan-pilihan yang memadai. Menurut Daniel Keating (1990), kalau keputusan yang di ambil remaja tidak disukai, maka kita perlu memberi mereka suatu pilihan yang lebih baik untuk mereka pilih.
c.       Perkembangan Orientasi Masa depan
Orientasi masa depan merupakan salah satu fenomena perkembangan kognitif yang terjadi masa remaja. Sebagai individu yang sedang mengalami proses peralihan dari masa anak-anak mencapai kedewasaan, remja memiliki tugas-tugas perkembangan yang mengarah pada persiapannya memenuhi tuntutan dan harapan peran sebagai orang dewasa. Oleh sebab itu, sebagaimana dikemukakan oleh Elizabeth B. Hurlock (1981), remaja mulai memikirkan tentang masa depan mereka secara sungguh-sungguh. Remaja mulai memberikan perhatian yang besar terhadap berbagai lapangan kehidupan yang akan dijalaninya sebagai manusia dewasa di masa mendatang. Di antara lapangan kehidupan di masa depan yang banyak mendapat perhatian remaja adalah lapangan pendidikan (Nurni, 1984), di samping dunia kerja dan hidup berumah tangga (Havighurst, 1984).
Menurut Nurmi (1991), skema kognitif tersebut berinteraksi dengan tiga tahap proses pembentukan orientasi masa depan, yaitu : (1) motivation (motivasi) (2) planning (perencanaan) dan (3) evaluation (evaluasi). Secra skematis, keterkaitan antara skema kognitif dengan ketiga tahap pembentukan orientasi masa depan itu.
Tahap motivational,  tahap motivasional merupakan tahap awal pembentukan orientasi masa depan remaja. Tahap ini mencakup motif, minat dan tujuan yang berkaitan dengan orientasi masa depan. Ketika keadaan masa depan beserta faktor pendukungnya telah menjadi sesuatu yang diharapkan dapat terwujud, maka pengetahuan yang menunjang terwujudnya harapan tersebut menjadi dasar penting bagi perkembangan motivasi dari orientasi masa depan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Nurmi (1991), perkembangan motivasi dari orientasi masa depan merupakan suatu proses yag kompleks, yang melihatkan beberapa subtahap, yaitu : pertama, munculnya pengetahuan baru yang relevan dengan motif umum atau penilaiian individu yang menimbulkan minat yang lebih spesifik; kedua, individu mulai mengeksplorasi pengetahuannya yang berkaitan dengan minat baru tersebut; ketiga, menentukan membuat komitmen yang berisikan tujuan tersebut.
Tahap Planning, perencanaan merupakan tahap kedua proses pembentukan orientasi masa depan individu, yaitu bagaimana remaja membuat perencanaan tentang perwujudan minat dan tujuan mereka. Menurut Nurmi (1991), perencanaan dicirikan sebagai suatu proses yang terdiri dari subtahap, yaitu: pertama, penentuan subtujuan. Pada subtahap ini individu membentuk suatu representasi dari tujuan-tujuannya dan konteks masa depan dimana tujuan tersebut diharapkan dapat terwujud. Kedua hal ini di dasari oleh pengetahuan individu tentang konteks dari aktivitas di masa depan. Kedua, penyusunan rencana. Pada subtahap ini individu membuat rencana dan menetapkan strategi untuk mencapai tujuan dalam konteks yang dipilih. Dalam menyusun suatu rencana, individu dituntut menemukan cara-cara yang dapat mengarahkannya pada pencapaian tujuan dan menentukan cara mana yang paling efisien.ketiga, melaksanakan rencana dan strategi yang te;ah disusun. Dalam subtahap ini, individu dituntut melakukan pengawsan terhadap pelaksanaan rencana tersebut. Pengawasan dapat dilakukan dengan membandingkan tujuan yang telah ditetapkan dengan konteks yang sesungguhnya di masa depan.
Tahap evaluation, evaluasi merupakan tahap akhir dari proses pembentukan orientasi masa depan. Nurmi (1991), memandang evaluasi ini sebagai proses yang melibatkan pengamatan dan melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang ditampilkan, serta memberikan penguat bagi diri sendiri. Jadi, meskipun tujuan dan perencanaan orientasi masa depan belum diwujudkan, tetapi pada tahap ini telah harus melakukan evaluasi terhadap kemungkinan-kemungkinan terwujudnya tujuan dan rencana tersebut. Proses evaluasi melibatkan casual attributions yang didasari oleh evaluasi kognitif individu mengenai kesempatan yang dimiliki dalam mengendalikan masa depannya, dan affects berkaitan dengan kondisi-kondisi yang sewaktu-waktu dan peranan penting, terutama dalam mengevaluasi kesempatan yang ada untuk mewujudkan tujuan dan rencana sesuai dengan kemampuan yang dimiliki individu.
Dengan turut sertanya aspek kognitif, maka berarti perkembangan orientasi masa depan sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitif. Menurut Nurmi (1991), perkembangan orientasi masa depan terlihat lebih nyata ketika individu telah mencapai tahap perkembangan pemikiran operasional formal.
Ini berarti masa depan. Hal ini karena sesuai dengan teori perkembangan piaget, masa remaja telah mencapai tahap pemikiran operasional formal.Orientasi tentang jenis pekerjaan di masa depan merupakan faktor penting yang mempengaruhi minat dan kebutuhan remaja untuk yang akan menjalani pendidikan. Jadi, pada dasarnya dunia pendidikan bagi remaja merupakan awal dari dunia karirnya. Meskipun orientasi masa depan merupakan tugas perkembangan yang harus dihadapi pada masa remaja dan dewasa awal, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pengalaman dan pengetahuan remaja tentang kehidupan di masa mendatang sangat terbatas. Untuk itu,remaja sangat membutuhkan bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, terutama orang tua.
Penelitian Tromsdoff (1983), telah menunjukkan betapa dukungan dan interaksi sosial yang terbina dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang sangat penting bagi pembentukan orientasi masa depan remaja, terutama dalam menumbuhkan sikap optimis dalam memandang masa depannya. Remaja yang mendapat kasih sayang dan dukungan dari orang tuanya, akan mengembangkan rasa percaya dan sikap yang positif terhadap masa depan, percaya akan keberhasilan yang akan di capainya, serta lebih termotivasi untuk mencapai tujuan yang telah di rumuskan di masa depan. Sebaliknya, remaja yang kurang dapat dukungan dari orang tua, akan tumbuh menjadi individu yang kurang optimis, kurang memiliki harapan tentang masa depan, kurang percaya atas kemampuannya merencanakan masa depan, dan pemikirannya pun menjadi kurang sistematis dan kurang terarah.
d.      Perkembangan kognisi sosial
Menurut Dacey dan Kenny (1997), yang dimaksud dengan kognisi sosial adalah kemampuan untuk berfikir bicara kritis mengenai isu-isu dalam hubungan internasional, yang berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman, serta berguna untuk memahami orang lain. Dan menentukan bagaimana melakukan interaksi dengan mereka.
Salah satu bagian penting dari perubahan perkembangan aspek kognisi sosial remaja ini adalah apa yang diistilahkan oleh psikolog David Elkind dengan egosentrisme yakni kecenderungan remaja untuk menerima dunia (dan dirinya sendiri) dari perspektifnya mereka sendiri. Dalam hal ini, remaja mulai mengembangkan suatu gaya pemikiran egosentris. Di mana mereka lebih memikirkan tentang dirinya sendiri dan seolah-olah memandang dirinya dari atas. Remaja mulai berfikir dan menginterprestasikan kepribadian dengan cara sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli teori kepribadian berfikir dan menginterprestasikan kepribadian, dan memantau dunia sosial mereka dengan cara-cara yang unik.
e.       Perkembangan Pemahaman tentang Agama
Seperti halnya moral, agama juga merupakan fenomena kognitif oleh sebab itu, beberapa ahli psikolog perkembangan (seperti Seifert 7 Hoffnung) menepatkan pembahasan tentang agama dalam kelompok bidang perkembangan kognitif.
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan sebagaimana dijelaskan oleh Adams 7 Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksitensi dirinya.
Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman (1962) tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja,ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama pada remaja ada 2 tahap, yaitu  formal operational dan operational thought, di mana remaja memperlihatkan pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotetis.

B.      Perkembangan Psikososial

Perkembangan Individuasi dan Identitas
Dalam psikologi, konsep identitas pada umumnya merujuk pada suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, serta keyakinan yang relatif stabil sepanjang rentang kehidupan, sekalipun terjadi berbagai perubahan. Menurut Erikson (dalam Cremers, 1989) seseorang yang sedang mencari identitas akan berusaha “menjadi seseorang”, yang berarti berusaha mengalami diri sendiri sebagai “AKU” yang bersifat sentral, mandiri, unik, yang mempunyai suatu kesadaran akan kesatuan batinnya, sekaligus juga berarti menjadi “seseorang” yang diterima dan diakui oleh orang banyak. Lebih jauh dijelaskannya bahwa orang yang sedang mencari identitas adalah orang yang ingin menentukan “siapakah” atau “apakah” yang diinginkannya pada masa mendatang. Bila mereka telah memperoleh identitas, maka ia akan menyadari ciri-ciri khas kepribadiannya, seperti kesukaan atau ketidaksukaannya, aspirasi, tujuan masa depan yang diantisipasi, perasaan bahwa ia dapat dan harus mengatur orientasi hidupnya.[5]
1)    Perkembangan Hubungan dengan Orang Tua
Perubahan-perubahan fisik, kognitif dan social yang terjadi dalam perkembangan ramaja mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasi orang tua-remaja. Salah satu ciri yang menonjol dari remaja yang mempengaruhi relasinya dengan orang tua adalah perjuangan untuk memperoleh otonomi, baik secara fisik maupun psikologis. Karena remaja lebih sedikit meluangkan waktunya bersama orang tua dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk saling berinteraksi dengan dunia yang lebih luas, maka mereka dihadapkan dengan bermacam-macam nilai dan ide-ide. Seiring dengan terjadinya perubahan kognitif selama masa remaja, perbedaan ide-ide yang dihadapi sering mendorongnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap nilai-nilai dan pelajaran-pelajaran yang berasal dari orang tua. Akibatnya, remaja mulai mempertanyakan dan menentang pandangan-pandangan orang tua serta mengembangkan ide-ide mereka sendiri. Orang tua tidak lagi dipandang sebagai otoritas yang serba tahu.secara optimal, remaja mengembangkan pandangan-pandangan yang lebih matangdan realistis dari orang tua mereka.[6]
2)   Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya
Perkembanga kehidupan social remaja juga ditandai dengan gejala meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka. Sebagian besar watunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman-teman sebaya mereka.[7] Berbeda halnya dengan masa anak-anak, hubungan teman sebaya remaja lebih didasarkan pada hubungan persahabatan. Pada prinsipnya hubungan teman sebaya mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan remaja. Dua ahli teori yang berpengaruh, yaitu Jean Piaget dan Harry Stack Sullivan, menekankan bahwa melalui hubungan sebaya anak dan remaja belajar tentang hubungan timbal balik yang simetris.[8]
3)   Perkembangan Seksualitas
Salah satu fenomena kehidupan remaja yang sangat menonjol adalah terjadinya peningkatan minat dan motivasi terhadap seksualitas. Terjadinya peningkatan perhatian remaja terhadap kehidupan seksual ini sangat dipengaruhi oleh factor perubahan-perubahan fisik selama periode pubertas. Terutama kematangan organ-organ seksual dan perubahan-perubahan hormonal, mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual dalam diri remaja. Dorongan seksual remaja ini sangat tinggi, dan bahkan lebih tinggi dari dorongan seksual orang dewasa. Sebagian anak muda yang belum memiliki pengalaman tentang seksual, tidak jarang dorongan-dorongan seksual ini menimbulkan ketegangan fisik dan psikis.[9]
4)   Perkembangan Proaktivitas
Proaktivitas adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Stephen R. Covey mengenai manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Perilakunya adalah fungsi dari keputusannya sendiri, dan ia mempunyai inisiatif dan tanggung jawab untuk membuat segala sesuatuya terjadi. Manusia tidak secara mekanistis merespon setiap stimulus yang datang kepadanya, tetapi antara stimulus dan respons itu terdapat kekuatan yang amat besar, yaitu kebebasan untuk memilih.[10]
a) Teori Psikososial Erikson
Erikson adalah salah seorang teoritis ternama dalam bidang perkembangan rentang hidup. Salah satu sumbangannya yang terbesar dalam psikolog perkembangan adalah teori psokososial tentang perkembangan manusia berdasarkan kualitas ego dalam delapan tahap perkembangan.
Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas, yang mengharuskan individu menghadapi suatu krisis. Krisis ini bagi Erikson bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan kerentanan dan peningkatan potensi, yang mempunyai kutup positif dan negarif. Semakin berhasil individu mengatasi krisis, akan semakin sehat perkembangannya (Santrock, 1995).

C.       Perkembangan Psikologis

Pembentukan konsep diri
Remaja adalah transisi dari priode anak ke dewasa. Ciri-ciri psikologis itu menurut G.W. Alport (1961) adalah:
-          Pemekaran diri sendiri (extension of the self), yang ditandai dengan kemampuan seorang untuk menganggap orang atau hal lain sebagian dari dirinya sendiri juga. Perasaan egoisme (mementingkan diri sendiri) berkurang, sebaliknya tumbuh perasaan ikut memiliki. Salah satu tanda yang khas adalah tumbuhnya kemampuan untuk mencintai orang lain dan alam sekitarnya. Disamping itu juga adalah berkembangnya ego ideal berupa cita-cita, idola dan sebagainya yang menggambarkan bagaimana wujud ego (diri sendiri) di masa depan.
-          Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif (self objectivication) yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri dan kemampuan untuk menangkap humor termasuk yang menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran. Ia tidak marah jika dikritik dan disaat-saat yang diperlukan ia bisa melepaskan diri dari dirinya sendiri dan meninjau dirinya sendiri sebagai orang luar.
-          Memiliki falsafah hidup tertentu. Hal ini dapat dilakukan tanpa peru merumuskannya dan mengucapkannya dalan katta-kata.orang yang sudah dewasa tahu dengan tepat tempatnya dalam kerangka susunan objek-objek lain dan manusia-manusia lain didunia. Ia tahnkedudukannya dalam masyarakat, ia paham bagaimana sharusnya ia bertingkah laku dalam kedudukan tersebut dan ia erusaha mencari jalannya sendiri menuju sasaran yang ia tetapkan sendiri.

C. Perkembangan Fase Remaja Madya dalam Perspektif Islam

Sudah menjadi ketentuan Allah SWT bahwa manusia pasti akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam rentang hidupnya, yaitu dari dalam kandungan menjadi masa kanak-kanak, remaja, dewasa, parubaya, dan kemudian menjadi lemah dan renta dimana kesemuanya memilki karakteristiknya masing-masing. Sebagaimana Allah berfirman pada QS. Ar-Rum ayat 54 yang berbunyi :
* ª!$# Ï%©!$# Nä3s)n=s{ `ÏiB 7#÷è|Ê ¢OèO Ÿ@yèy_ .`ÏB Ï÷èt/ 7#÷è|Ê Zo§qè% ¢OèO Ÿ@yèy_ .`ÏB Ï÷èt/ ;o§qè% $Zÿ÷è|Ê Zpt7øŠx©ur 4 ß,è=øƒs $tB âä!$t±o ( uqèdur ÞOŠÎ=yèø9$# ㍃Ïs)ø9$# ÇÎÍÈ
54.  Allah, dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, Kemudian dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, Kemudian dia menjadikan (kamu) sesudah Kuat itu lemah (kembali) dan beruban. dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.
Orang yang telah mencapai usia 40 tahun biasanya mulai menanmpakan tanda-tanda penuaan yang diantaranya menurut Muhammad Musa Syarif (2007) adalah tampak penuaan pada rambut kepala dan jenggotnya, dimana pada sebagian orang karena penuaan ini mereka merasa takut, gelisah,dan berusaha menyembunyikan tanda penuaan yang telah nampak, sehingga tidak jarang mereka merubahnya dengan berbagai cara dan media.
Dalam pandangan islam seseorang yang telah dewasa, adalah orang-orang yang telah menanggung beban, artinya bertanggung jawab atas anak-anaknya, baik dari segi pendidikan keagamaan, kebutuhan fisik dan nonfisik, dll. Sebagaimana termaktub dalam QS. At-Tahrim ayat 6:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ  
6.  Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Usia dewasa akhir mulai umur 40 sampai 60 Tahun dan di tandai dengan perubahan jasmani dan mental dan terjadi penurunan kekuatan fisik dan daya ingat. Ada sepuluh karakteristik yang terjadi pada usia ini yaitu 1) usia madya merupakan periode yang menakutkan, 2) masa ini merupakan usia transisi, 3) masa stress, 4) usia yang berbahaya, 5) masa berprestasi, 6) usia canggung, 7) masa evaluasi, 8) evaluasi dengan standar ganda, 9) masa sepi, 10) masa jenuh.
Kondisi yang mempengaruhi penyesuaian pekerjaan pada usia ini adalah kepuasan kerja,sikap pasangan dan teman kerja, serta harapan pekerjaan. Sedangkan kondisi yang merumitkan penyesuaian diri terhadap pola keluarga pada usia ini adalah merasa tidak berguna lagi, merawat anggota keluarga berusia lanjut, dan hilangnya peran sebagai orang tua. Dan kondisi semacam ini tidak terjadi apabila setiap fase perkembangan yang dilalui individu sangat kondusif. Usia ini adalah usia kebijaksanaan sehingga kelihatan individu cenderung untuk mendekatkan diri pada Allah sebagaimana dalam firman Allah SWT pada surat Al-Qashas ayat14 :
$£Js9ur x÷n=t/ ¼çn£ä©r& #uqtGó$#ur çm»oY÷s?#uä $VJõ3ãm $VJù=Ïãur 4 šÏ9ºxx.ur ÌøgwU tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÍÈ
14.  Dan setelah Musa cukup umur dan Sempurna akalnya, kami berikan ke- padanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. dan Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Pada usia 40 nabi diutus oleh Allah kepada manusia sebagai pembawa berita dan pembawa berita ancaman. Karna itu pada umur ini tampak tanda yang menunjukan kemana kecenderungan yang sebenarnya kearah kebaikan atau kejahatan. Imam malik pernah berkata “Kami dapati banyak orang mencari ilmu pengetahuan sampai umur 40 tahun setalah itu ia akan menyibukan diri dengan mengamalkan apa yang telah mereka pelajari dan tidak lagi waktu untuk menoleh pada dunia”.

D.Pengaruh lingkungan terhadap perkembangan jiwa remaja

Perilaku remaja sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan, di satu pihak remaja mempunyai keinginan kuat untuk mengadakan interaksi sosial dalam upaya mendapatkan kepercayaan dari lingkungan, di lain pihak ia mulai memikirkan kehidupan secara mandiri, terlepas dari pengawasan orang tua dan sekolah. Salah satu bagian perkembangan masa remaja yang tersulit adalah penyesuaian terhadap lingkungan sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan interpesonal yang awalnya belum pernah ada, juga harus mneyesuaika diri dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai hubungan pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Ia harus mempertimbangkan pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, membentuk kelompok sosial baru dan nilai-nilai baru dalam memilih teman.
a.       Lingkungan keluarga
Keluarga merupaka lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan anak. Peranan ibu dan ayah atau orang tua pengganti (nenek, kakek dan orang dwasa lainnya) sangat besar. Apabila proses identifikasi ini tidak berjalan dengan lancar, maka dapat timbul proses identifikasi yang salah.
Banyak penelitian yang dilakukan para ahli menemukan bahwa remaja yang berasal dari keluarga yang pernuh perhatian, hangat dan harmonis mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan diri dan sosialisasi yang baik dengan lingkungan sekitarnya.
Lingkungan keluarga yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa remaja adalah pola asuh keluarga, kondisi keluarga dan pendidikana moral dalam  keluarga.
b.      Lingkungan sekolah
Pengaruh yang juga cukup kuat dalam perkembangan remaja adalah lingkungan sekolah. Umumnya orang tua menaruh harapan yang besar pada pendidikan di sekolah. Oleh  karena itu, dalam memilih sekolah, orang tua perlu mempertimbangkan hal-hal, seperti suasana sekolah (kedisiplinan, kebiasaan belajar dan pengendalian diri) dan bimbingan guru.
c.       Lingkungan teman sebaya
Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman sebaya. Jadi dapat dimengerti bahwa, sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku teman sebaya lebih besar pengaruhnya daripada keluarga.[11]
Di dalam kelompok sebaya, remaja berusaha menemukan konsep dirinya. Disini ia dinilai oleh teman sebayanya tanpa memperdulikan sanksi-sanksi dunia dewasa. Kelompok sebaya memberikan lingkungan yaitu dunia tempat remaja dapat melakukan sosialisasi dimana nilai yang berlaku bukanlah nilai yang ditetapkan oleh orang deasa, melainkan oleh teman seusianya. Disinilah letak berbahayanya bagi perkembangan jiwa remaja, apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebayanya adalah nilai yang negatif. Akan lebih berbahaya apabila kelompok sebaya ini cenderung tertutup, dimana setiap anggota tidak dapat terlepas dari kelompoknya dan harus mengikuti nilai dikembangkan oleh pimpinan kelompok. Sikap, pikiran, perilaku dan gaya hidupnya merupakan perilaku dan gaya hidup kelompoknya.[12]
d.      Lingkungan masyarakat
Dalam kehidupannya, manusia dibimbing oleh nilai-nilai yang merupakan pandangan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Nilai yang baik harus diikuti dan dianut, sedangkan yang buruk harus dihindari. Sesuai dengan aspek rohaniah dan jasmaniah ada pada manusia, maka manusia dibimbing oleh pasangan nilai materi dan non materi. Apabila manusia hendak hidup secara damai di masyarakat, maka sebaiknya kedua nilai yang yang merupakan pasangan tadi diserasikan. Akan tetapi, kenyataan dewasa ini, menunjukkan bahwa nilai materi lebih besar daripada nilai non materi atau spiritual. Hal ini terbukti dari kenyataan, bahwa sebagai tolak ukur peranan seseorang dalam masyarakat adalah kebendaan dan kedudukan.

C.   Kaitan antara Perkembangan Remaja dengan Pendidikan Andragogi

A.      Pengertian Andragogi

Andragogi berasal dari kata yunani yaitu andr yang berarti orang dewasa dan agogos yang berarti memimpin atau membimbing. Maka dengan demikian, andragogi di rumuskan sebagai suatu ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar.

B.      Beberapa asumsi dan implikasinya

Ada perbedaan yang mendasar mengenai asumsi yang digunakan oleh andragogi dan pedagogi. Andragogi pada dasarnya menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:
1.      Konsep diri
Konsep diri pada seorang anak adalah bahwa dirinya tergantung kepada orang lain. Seorang anak sesungguhnya merupakan kepribadian yang tergantung pada pihak lain, hampir seluruh kehidupannya diatur oleh orang yang sudah dewasa, baik dirumah, ditempat bermain, disekolah maupun ditempat ibadah. Katika anak sudah mulai beranjak dewasa, mereka sudah mulai berkurang ketergantungannya terhadap orang lain, dan mulai tumbuh kesadarannya dan merasa dapat mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Selama proses perubahan dari ketergantungan kepada orang lain ke arah mampu untuk berdiri sendiri, secara psikologis orang tersebut sudah dipandang dewasa. Ia memandang sudah mampu untuk sepenuhnya mengatur dirinya sendiri. Oleh karena itu, seorang dewasa memerlukan perlakuan yang sifatnya menghargai, khususnya dalam pengambilan keputusan.
Dilain pihak apabila orang dewasa dibawa ke dalam situasi belajar yang memerlukan mereka dengan penuh penghargaan, maka mereka akan melakukan proses belajar tersebut dengan penuh pelibatan dirinya secara mendalam. Dalam situasi seperti ini, orang dewasa telah mempunyai kemauan sendiri (pengarahan diri) untuk belajar.
2.      Pengalaman
Setiap orang dewasa mempunyai pengalaman yang berbeda sebagai akibat latar belakang kehidupan masa mudanya. Makin lama ia hidup, makin menumpuk pengalaman yang ia punyai dan maikn berbeda pula pengalamannya dengan orang lain.
Nampaknya pengalaman bagi orang dewasa dan anak-anak berbeda pula. Bagi anak-anak pengalaman itu adalah sesuatu yang terjadi pada dirinya. Ini berarti merupakan suatu stimulus yang berasal dari luar dan mempengaruhi dirinya dan bukan merupakan bagian yang terpadu dengan dirinya. Tetapi bagi orang dewasa, pengalaman itu adalah dirinya sendiri. Ia merumuskan siapa dia, dan menciptakan identitas dirinya atas dasar seperangkat pengalamannya yang unik.
Perbedaan pengalaman antara orang dewasa dan anak menimbulkan konsekuensi dalam belajar. Konsekuensi itu, pertama bahwa orang dewasa mempunyai kesempatan yang lebih untuk mengkontribusikan dalam proses belajar orang lain. Hal ini disebabkan karena ia merupakan sumber belajar yang kaya. Kedua, orang dewasa mempunyai dasar pengalaman yang lebih kaya yang berkaitan dengan pengalaman baru (belajar sesuatu yang baru mempunyai kecenderungan mengambil makna dari pengalaman yang lama). Ketiga, orang dewasa telah mempunyai pola pikir dan kebiasaan yang pasti dan karenanya mereka cenderung kurang terbuka.
3.      Kesiapan untuk belajar
Hasil studi terakhir menunjukkan bahwa orang dewasa mempunyai masa kesiapan untuk belajar. Masa ini sebagai akibat dari peranan sosialnya. Robert J. Havighurst membagi masa dewasa itu atas tiga fase serta mengidentifikasi 10 peranan sosial dalam masa dewasa. Ketiga masa fase itu adalah masa dewasa awal umur antara 18-30 tahun, masa dewasa pertengahan umur antara 30-55 tahun, dan masa dewasa akhir berumur antara 55 tahun lebih. Sedangkan kesepuluh peranan sosial pada masa dewasa adalah sebagai pekerja, kawan, orang tua, kepala rumah tangga, anak dari orang tua yang sudah berumur, warga negara, anggota organisasi, kawan sekerja, anggota keagamaan dan pemakai waktu luang. Menurut havighurst, penampilan orang dewasa dalam melaksanakan peranan sosialnya berubah sejalan dengan dengan perubahan dari ketiga fase masa dewasa itu, sehingga hal ini mengakibatkan pula perubahan dalam kesiapan belajar.
4.        Orientasi terhadap belajar
Dalam belajar, antara orang dewasa dengan anak-anak berbeda dalam perspektif waktunya. Hal ini akan menghasilkan perbedaan pula dalam cara memandang terhadap belajar. Anak-anak cenderung mempunyai perspektif untuk menunda aplikasi apa yang ia pelajari. Bagi anak-anak, pendidikan dipandang sebagai suatu proses penumpukan pengetahuan dan keterampilan, yang nantinya diharapkan akan dapat bermanfaat dalam kehidupannya kelak.
Sebaliknya bagi orang dewasa, mereka cenderung mempunyai perspektif untuk secepatnya mengaplikasikan apa yang mereka pelajari. Mereka terlibat dalam kegiatan belajar, sebagian besar karena adanya respon terhadap apa yang dirasakan dalam kehidupannya sekarang. Oleh karena itu, pendidikan bagi orang yang sudah dewasa dipandang sebagai suatu proses untuk meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan masalah hidup yang ia hadapi.
Implikasi dalam proses belajar orang dewasa dengan adanya perbedaan dalam orientasi terhadap belajar antara orang dewasa dan anak-anak adalah:
a.    Para pendidik orang dewasa bukanlah berperan sebagai seorang guru yang mengajarkan mata pelajaran tertentu, tetapi ia berperan sebagai pemberi bantuan kepada orang yang belajar.
b.    Kurikulum dalam pendidikan orang dewasa tidak berorientasikan kepada mata pelajaran tertentu, tetapi berorientasikan kepada masalah. Hal ini disebabkan karena orang dewasa cenderung berorientasikan kepada masalah dalam orientasi belajarnya.
c.    Oleh karena orang dewasa dalam belajar berorientasi kepada masalah maka pengalaman belajar yang dirancang berdasarkan pula masalah atau perhatian yang ada pada benak mereka.

C.       Beberapa asumsi mengenai belajar dan mengajar

Pendekatan yang bersifat andragogi dalam proses belajar mengajar, didasarka kepada tiga tambahan asumsi sebagai berikut:
1.      Orang dewasa dapat belajar
      Semula ada anggapan berdasarkan laporan yang dikemukakan oleh E.L Thorndike bahwa kemampuan untuk belajar seseorang menurun secara perlahan sesudah 20 tahun. Tetapi hasil studi terakhir yang dikemukakan oleh Irving Lorge menunjukkan bahwa menurunnya itu hanya dalam kecepatan belajarnya dan bukan dalam kekuatan intelektualnya.
Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa dasar kemampuan untuk belajar masih tetap ada sepanjang hidup orang tersebut, dan oleh karen itu apabila seseorang tidak menampilkan kemampuan belajar yang sebenarnya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti orang tersebut sudah lama meninggalkan cara belajar yang sistematik atau karena adanya perubahan-perubahan faktor fisiologik seperti menurunnya pendengaran dan pengelihatan atau tenaganya.
2.      Belajar adalah suatu proses dari dalam
      Ada suatu kecenderungan untuk memandang pendidikan sebagai informasi yang ditransmisikan dan melihat belajar sebagai suatu proses intelektual dalam menyimpan fakta-fakta. Asumsi yang tersembunyi dari kecenderungan pendapat ini adalah bahwa belajar dipandang sebagai suatu proses yang bersifat eksternal dalam arti peserta didik belajar terutama ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar seperti guru yang terampil, bahan bacaan yang baik dan sejenisnya.
Pandangan yang bersifat tradisional diatas tidak seluruhnya benar, pandangan baru mengemukakan bahwa belajar merupakan suatu proses dari dalam yang dikontrol langsung oleh peserta sendiri serta melibatkan dirinya, termasuk fungsi intelek, emosi  dan fisiknya. Belajar secara psikologi dipandang sebagai suatu proses pemenuhan kebutuhan dan tujuan. Ini berarti bahwa peserta merasakan adanya kebutuhan untuk belajar dan melihat tujuan pribadi akan dapat tercapai dengan bantuan belajar.
3.      Kondisi belajar dan prinsip-prinsip mengajar
      Ada beberapa kondisi belajar dan prinsip-prinsip mengajar yang perlu dianut dalam proses belajar mengajar yang bersifat andragogi. Kondisi belajar dan prinsip-prinsip mengajar ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
Tabel 3 Kondisi Belajar dan Prinsip-prinsip Mengajar
Kondisi belajar
Prinsip-prinsip mengajar
Peserta merasa ada kebutuhan untuk belajar.












Lingkungan belajar ditandai oleh keadaan fisik yang menyenangkan, saling menghormati dan mempercayai, saling membantu, kebebesan mengemukakan pendapatnya, dan setuju adanya perbedaan.










Peserta memandang tujuan pengalaman belajar menjadi tujuan mereka sendiri.



Peserta dapat menyetujui untuk saling tanggung jawab dalam perencanaan dan melaksanakan pengalaman belajar, dan karenanya mereka mempunyai rasa memiiki terhadap hal tersebut
Peserta berpartisipasi secara aktif dalam proses belajar.




Proses belajar dikaitkan dan menggunakan pengalaman peserta.













Peserta mempunyai rasa kemajuan terhadap tujuan belajar mereka.
1)   Fasilitator mengemukakan kepada peserta kemungkinan-kemungkinan baru untuk pemenuhan dirinya.
2)   Fasilitator membantu setiap peserta untuk memperjelas aspirasi dirinya untuk peningkatan perilakunya.
3)   Fasilitator membantu peserta mendiagnosa  perbedaan aspirasinya dengan tingkat penampilannya sekarang.
4)   Fasilitator membantu peserta mengidentifikasi masalah-masalah kehidupan yang mereka alami karena adanya perbedaan tadi.
5)   Fasiliator memberikan kondisi fisik yang menyenangkan seperti tempat duduk, ventilasi, lampu dan sejenisnya dan kondusif untuk terciptanya interaksi antara peserta satu sama lain.
6)   Fasiliator memandang bahwa setiap peserta merupakan pribadi yang bermanfaat dan menghormati perasaan dan gagasan gagasannya.
7)   Fasiliator membangun hubungan saling membantu antara peserta dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan yang bersifat kooperatif dan mencegah adanya persaingan dan memberikan penilaian.
8)   Fasiliator melibatkan peserta dalam suatu proses merumuskan tujuan belajar dimana kebutuhan peserta, lembaga, pengajar dan masyarakat ikut dipertimbangkan pula.
9)   Fasiliator ikut turun juga dalam merancang pengalaman belajar dan memilih bahan-bahan dan metode serta melibatkan peserta dalam setiap keputusan bersama-bersama.
10)    Fasiliator membantu peserta mengorganisir dirinya (kelompok untuk melakukan proyek, team belajar mengajar, studi bebas dan lain-lain) untuk tanggung jawab dalam proses pencarian bersama.
11)    Fasiliator membantu peserta menggunakan pengalaman mereka sendiri sebagai sumber belajar melalui penggunaan teknik seperti diskusi, permainan peran, kasus, dan sejenisnya.
12)    Fasiliator menyampaikan presentasinya berdasarkan sumber-sumber dari dirinya terhadap tingkat pengalaman peserta.
13)    Fasiliator mambantu peserta untuk mengaplikasikan belajar baru terhadap pengalam mereka, dan ini berarti membuat belajar lebih bermakna dan terpadu.
14)    Fasiliator melibatkan peserta dalam mengembangkan kriteria yang disetujui bersama serta metode dalam mengukur kemajuan terhadap tujuan belajar.
15)    Fasiliator membantu peserta mengembangkan dan mengaplikasikan prosedur dalam mengevaluasi diri sendiri berdasarkan kriteria itu.



BAB III KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan, yaitu:
1.      Remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak, terbagi menjadi tiga yaitu, remaja awal, remaja pertengahan dan remaja akhir.
2.      Fase-fase perkembangan pada remaja, yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif, perkembangan psikososial dan perkembangan psikologis.
3.      Pada usia 40 nabi diutus oleh Allah kepada manusia sebagai pembawa berita dan pembawa berita ancaman. Karna itu pada umur ini tampak tanda yang menunjukan kemana kecenderungan yang sebenarnya kearah kebaikan atau kejahatan.
4.      Pengaruh lingkungan terhadap perkembangan jiwa remaja, yaitu dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan teman sebaya dan lingkungan masyarakat.
5.      Implikasi dalam proses belajar orang dewasa dengan adanya perbedaan dalam orientasi terhadap belajar antara orang dewasa dan anak-anak adalah:
a.       Para pendidik orang dewasa bukanlah berperan sebagai seorang guru yang mengajarkan mata pelajaran tertentu, tetapi ia berperan sebagai pemberi bantuan kepada orang yang belajar.
b.      Kurikulum dalam pendidikan orang dewasa tidak berorientasikan kepada mata pelajaran tertentu, tetapi berorientasikan kepada masalah. Hal ini disebabkan karena orang dewasa cenderung berorientasikan kepada masalah dalam orientasi belajarnya.
c.       Oleh karena orang dewasa dalam belajar berorientasi kepada masalah maka pengalaman belajar yang dirancang berdasarkan pula masalah atau perhatian yang ada pada benak mereka.


DAFTAR PUSTAKA

Desmita. 2013. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumiyati, dkk. 2009. Kesehatan Jiwa Remaja dan Konseling. Jakarta: Trans Info Media.
Yusuf, H. Syamsu. 2010. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.


[1] Sumiati, Dinarti dkk. Kesehatan Jiwa Remaja dan Remaja. 2009. Jakarta: Trans Info Media. hal. 9-11. Cet. ke-1.
[2] Yusuf, H. Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. 2010. Bandung: Remaja Rosdakarya. hal. 184. Cet. ke-11.
[3] Desmita. Psikologi Perkembangan. 2013. Bandung: Remaja Rosdakarya. hal. 189. Cet. ke-8.
[4] Ibid. Psikologi Perkembangan. hal. 190.
[5] Ibid. Psikologi Perkembangan. hal. 211.
[6] Ibid. Psikologi Perkembangan. hal. 217-218.
[7] Ibid. Psikologi Perkembangan. hal. 219.
[8] Ibid. Psikologi Perkembangan. hal. 220.
[9] Ibid. Psikologi Perkembangan. hal. 222.
[10] Ibid. Psikologi Perkembangan. hal. 224.
[11] Ibid. Kesehatan Jiwa Remaja dan Konseling. hal. 47.
[12] Ibid. Kesehatan Jiwa Remaja dan Konseling. hal. 48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar