BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak kepada masa dewasa.
Masa remaja juga sebagai usia bermasalah. Akhirnya para remaja mengalami
kesulitan dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Kesulitan-kesulitan yang
dihadapi remaja menurut Rumke bersumber dari tiga masalah, yaitu: masalah
individuasi: kesulitan dalam mewujudkan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
Regulasi: ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan perubahan di bidang fisik dan
seksualnya. Masalah integrasi: kesulitan menyesuaikan sikap dan perilakunya
dilingkungannya/ mencari identitas dirinya.
B. Rumusan Masalah
Adapun perumusan
masalah yang akan dibahas dalam penyusunan makalah ini, sebagai berikut:
1.
Apa pengertian remaja?
2.
Apa saja fase-fase perkembangan pada remaja?
3.
Bagaimana perkembangan remaja dalam perpektif Islam?
4.
Bagaimana pengaruh lingkungan terhadap perkembangan jiwa
remaja?
5.
Bagaimana kaitannya perkembangan remaja dengan pendidikan
Andragogi?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini, yaitu:
1.
Untuk memahami pengertian remaja.
2.
Untuk memahami fase-fase perkembangan pada remaja.
3.
Untuk
Mengetahui Perkembangan remaja dalam Pserspektif Islam
4.
Untuk memahami pengaruh lingkungan terhadap perkembangan
jiwa remaja.
5.
Untuk memahami kaitannya antara perkembangan remaja
dengan pendidikan Andragogi.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Remaja
Menurut WHO (dalam
Sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual, ada tiga
kriteria yaitu biologis, psikologik dan sosial ekonomi, dengan batasan usia
antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersbut berbunyi, sebagai
berikut.
a.
Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan
tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
b.
Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola
identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
c.
Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang
penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Monks sendiri memberikan batasan usia masa remaja adalah masa diantara
12-21 tahun dengan perincian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa
remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir.
Menurut Santrock, remaja didefinisikan sebagai periode transisi
perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang mencakup aspek
biologik, kognitif dan perubahan sosial yang berlangsung antara 10-19 tahun.
Masa remaja terdiri dari masa remaja awal (10-14 tahun), masa remaja
pertengahan (15-16 tahun) dan masa remaja akhir (17-19 tahun). Yang dimaksud
dengan remaja awal (early adolescence) adalah masa yang ditandai dengan
berbagai perubahan tubuh yang cepat dan sering mengakibatkan kesulitan dalam
menyesuaikan diri, pada saat ini remaja mulai mencari identitas diri. Remaja
pertengahan (middle adolescence) ditandai dengan bentuk yang sudah menyerupai
orang dewasa. Oleh karena itu, remaja seringkali diharapkan dapat berperilaku
seperti orang dewas, meskipun belum siap secara psikis. Pada masa ini, sering
terjadi konflik, karena remaja sudah mulai ingin bebas mengikuti teman sebaya.
Remaja akhir (late adolescence) ditandai dengan pertumbuhan biologis
sudah melambat, tetapi masih berlangsung di tempat-tempat lain. Emosi, minat,
konsentrasi dan cara berpikir mulai stabil serta kemampuan untuk menyelesaikan
masalah sudah meningkat.[1]
Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting,
yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu
bereproduksi. Salzman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan
sikap tergantung (dependence) terhadap orangtua ke arah kemandirian
(independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap
nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.[2]
Di negara-negara Barat, istilah remaja dikenal dengan “adolescence”
yang berasal dari kata dalam bahasa Latin “adolescere” (kata bendanya adolescentia
= remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi
dewasa.[3]
Jadi, remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak, terbagi
menjadi tiga yaitu, remaja awal, remaja pertengahan dan remaja akhir.
B. Fase-fase Perkembangan Remaja
A. Perkembangan Fisik
Perubahan-perubahan fisik merupakan gejala primer dalam pertumbuhan masa
remaja, yang berdampak terhadap perubahan-perubahan psikologis (Sarwono). Pada
mulanya, tanda-tanda perubahan fisik dari masa remaja terjadi dalam konteks
pubertas. Dalam konteks ini, kematangan organ-organ seks dan kemampuan
reproduktif bertumbuh dengan cepat. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan
mengalami pertumbuhan fisik yang cepat, yang disebut “growth spurt”
(percepatan pertumbuhan), dimana terjadi perubahan dan percepatan pertumbuhan
di seluruh bagian dan dimensi badan (Zigler dan Stevenson). Pertumbuhan cepat
bagi anak perempuan terjadi 2 tahun lebih awal dari anak laki-laki, umumnya
anak perempuan mulai mengalami pertumbuhan cepat pada usia 10,5 tahun dan anak
laki-laki pada usia 12,5 tahun.[4]
Remaja Awal
Ciri Primer
|
Ciri Sekunder
|
|
Pria
|
-
Cepatnya pertumbuhan testis (penis mulai bertambah
panjang, pembuluh mani dan kelenjar prostat semakin membesar)
-
Mengalami mimpi basah (mimpi berhubungan seksual)
-
Tinggi badan rata-rata sekitar 59 atau 60 inci.
|
-
Tumbuh rambut rubik/ bulu kapok disekitar kemaluan atau
ketiak
-
Terjadi perubahan suara
-
Tumbuh kumis
-
Tumbuh jakun
|
Wanita
|
-
Tinggi badan rata-rata sekitar 59 atau 60 inci
-
Matangnya organ-organ seks ditandai dengan tumbuhnya
rahim, vagina dan ovarium
-
Mengalami menstruasi pertama
-
Ovarium menghasilkan ovum dan mengeluarkan
hormon-hormon yang diperlukan untuk kehamilan
|
-
Tumbuh rambut rubik/ bulu kapok disekitar kemaluan atau
ketiak
-
Bertambah besar buah dada
-
Bertambah besarnya pinggul
|
Remaja Akhir
Ciri Primer
|
Ciri Sekunder
|
|
Pria
|
-
Testis mencapai ukuran matang
-
Pada usia 18 tahun, tinggi badan rata-rata 69 inci
|
-
Matangnya semua organ
|
Wanita
|
-
Pada usia 18 tahun, tinggi badan rata-rata sekitar 64
inci
|
-
Semua organ mencapai tingkat kematangan sempurna dan
dapat berfungsi maksimal
|
B. Perkembangan Kognitif
Masa remaja adalah suatu periode kehidupan di mana kapasitas untuk
memperoleh dan menggunakan pengetahuan secara efisien mencapai puncaknya
(Mussen, Conger & kagan, 1969). Hal ini adalah karena selama periode remaja
ini, proses pertumbuhan otak mencapai kesempurnaan. Sistem saraf yang berfungsi
memproses informasi berkembang dengan cepat. Di samping itu, pada masa remaja
ini juga terjadi reorganisasi lingkaran saraf prontal lobe (belahan otak
bagian depan sampai pada belahan atau celah sentral). Prontal lobe ini
berfungsi dalam aktivitas kognitif tingkat tinggi, seperti kemampuan merumuskan
perencanaan strategis atau kemampuan mengambil keputusan ( Carol & David
R., 1995).
Perkembangan prontal lobe tersebut sangat berpengaruh terhadap kemampuan
kognitif remaja, sehingga mereka mengembangkan kemampuan penalaran yang
memberinya suatu tingkat pertimbangan moral dan kesadaran sosial yang baru. Di
samping itu, anak muda yang telah
memiliki kemampuan memahami pemikirannya sendiri dan pemikiran orang lain,
remaja mulai membayangkan apa yang dipikirkan oleh orang tentang dirinya.
Ketika kemampuan kognitif mereka mencapai kematangan, kebanyakan anak remaja
mulai memikirkan tentang apa yang diharapkan dan melakukan kritik terhadap
masyarakat mereka, orang tua mereka, dan bahkan terhadap kekurangan diri mereka
sendiri (Myers, 1996).
Kemudian, dengan kekuatan baru dalam penalaran yang dimilikinya,
menjadikan remaja mampu membuat pertimbangan dan melakukan perdebatan sekitar
topik-topik abstrak tentang manusia, kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan
keadilan. Kalau pada masa awal anak-anak
ketika mereka berfikir simbolik, Tuhan dibayangkan sebagai person yang
berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah
konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksitensinya (Myers, 1996).
a.
Perkembangan Kognitif Menurut Teori Piaget
Pemikiran masa remaja telah mencapai tahap pemikiran opersional formal (formal
operational thought), yakni suatu tahap perkembangan kognitif yang dimulai pada
usia kira-kira 11 atau 12 tahun dan terus berlanjut sampai remaja mencapai masa
tenang atau dewasa (Leaner 7 Hustlsch, 1983). Pada tahap ini anak sudah dapat
berfikir secara abstrak dan hipotesis. Pada masa ini, anak sudah mampu
memikirkan sesuatu yang akan atau mungkin terjadi, sesuatu yang abstrak.
Pada tahap ini remaja juga sudah mampu berfikir secara sistematik, mampu
memikirkan semua kemungkinan secara sistematik untuk memecahkan permasalahan.
Anak tahap formal operasional mulai mampu memecahkan masalah dengan membuat
perencanaan kegiatan terlebih dahulu dan berusaha mengantisipasi berbagai macam
informasi yang akan diperlukannya untuk memecahkan masalah tersebut.
Menurut Adams dan Gullotta (1983), kemampuan untuk mengapresiasi
hubungan antara kenyataan dan kemungkinan, kombinasi penalaran, dan hipotesis
deduktif tersebut, sejatinya dimaksudkan sebagai aspek-aspek struktural dari
pemikiran yang muncul bersamaan dengan pemikiran formal pada semua tugas.
Pengetahuan estetika bersumber dari pengalaman musik, literatur atau
seni, sedangkan pengetahuan personal bersumber dari hubungan interpersonal dan
pengalaman konkrit. Selanjutnya, kemampuan mengaplikasikan pemikiran formal
operasional tidak hanya berkaitan dengan pengalaman belajar khusus, melainkan
juga dengan muatan tingkah laku, simbolik, semantik, dan figural. Muatan
tingkah laku mencakup tingkah laku nonverbal (seperti; sikap, motivasi, atau
intensitas; muatan simbolik meliputi simbol-simbol tertulis; muatan semantik
meliputi ide-ide dan pengertian dan muatan figural meliputi representasi visual
dari objek-objek konkrit).
Brunch model menunjukkan
bahwa kemampuan menggunakan pemikiran formal operasional timbul lebih secara
gradual daripada secara orisinal. Pengalaman personal dalam berbagai aspek
kehidupan,secara umum mungkin menentukan aplikasi dari pmikiran formal
operasional tersebut. Oleh karena itu, remaja mungkin mampu menggunakan
pemikiran formal dalam satu mata pelajaran, tetapi tidak pada mata pelajaran
yang lain. Akan tetapi, remaja yang lebih dewasa, yang memiliki lebih banyak
pengalaman dengan sekolah, hubungan personal, dan kehidupan umumnya, akan
memungkinkan untuk mengaplikasikan pemikiran formal operasional pada wilayah
yang lebih luas dari kehidupannya (Adams & Gullota, 1983)
b.
Perkembangan pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan (decision making) merupakan salah satu
bentuk perbuatan berfikir dan hasil dari perbuatan itu di sebut keputusan. Ini
berarti bahwa degan melihat bagaimana seorang remaja mengambil suatu keputusan,
maka dapat diketahui perkembangan pemikirannya. Remaja adalah masa di mana
terjadi peningkatan pengambilan keputusan. Dalam hal ini mulai mengambil
keputusan-keputusan tentang masa depan, keputusan dalam melilih teman,
keputusan tentang apakah melanjutkan kuliah setelah tamat SMU atau mencari
kerja, keputusan untuk mengikuti les
bahasa Inggris atau Komputer, dan seterusnya.
Dalam hal pengambilan keputusan ini, remaja yang lebih tua ternyata
lebih kompeten daripada remaja yang lebih muda, sekaligus lebih kompeten
dibandingkan anak-anak. Dibandingkan anak-anak, remaja yang lebih muda
cenderung menghasilkan pilihan-pilihan, menguji situasi dari berbagai
perspektif, mengantisipasi akibat dari keputusan-keputusan, dan
mempertimbangkan kredibilitas
sumber-sumber. Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan remaja yang lebih tua,
remaja yang lebih muda memiliki kemampuan yang kurang dalam keterampilan
pengambilan keputusan (Santrock, 1995).
Meskipun demikian, keterampilan pengambilan keputusan oleh remaja yang
lebih tua seringkali jauh dari sempurna, dan kemampuan untuk mengambil
keputusan tidak menjamin bahwa keputusan semacam itu akan dibuat dalam
kehidupan sehari-hari, dimana luasnya pengalaman sering memainkan peran yang
sangat penting. Untuk itu, remaja perlu memiliki lebih banyak peluang untuk
mempraktekkan dan mendiskusikan pengambilan keputusan yang relaistis. Banyak
keputusan-keputusan dunia nyata yang terjadi di dalam atsmosfir yang
menegangkan, yang meliputi faktor-faktor seperti hambatan waktu dan
keterlibatan emosional. Salah satu strategi untuk meningkatkan keterampilan
pengambilan keputusan remaja terhadap pilihan-pilihan dalam dunia nyata,
seperti masalah seks, obat-obatan, dan kebut-kebutan di jalan adalah dengan
mengembangkan lebih banyak peluang bagi remaja untuk telibat dalam permainan
peran dan pemecahan masalah kelompok yang berkaitan dengan kondisi-kondisi
semacam itu di sekolah.
Tidak jarang remaja terpaksa mengambil keputusan-keputusan yang salah
karena di pengaruhi oleh orientasi masyarakat terhadap remaja dan kegagalannya
untuk memberi remaja pilihan-pilihan yang memadai. Menurut Daniel Keating
(1990), kalau keputusan yang di ambil remaja tidak disukai, maka kita perlu
memberi mereka suatu pilihan yang lebih baik untuk mereka pilih.
c.
Perkembangan Orientasi Masa depan
Orientasi masa depan merupakan salah satu fenomena perkembangan kognitif
yang terjadi masa remaja. Sebagai individu yang sedang mengalami proses
peralihan dari masa anak-anak mencapai kedewasaan, remja memiliki tugas-tugas
perkembangan yang mengarah pada persiapannya memenuhi tuntutan dan harapan
peran sebagai orang dewasa. Oleh sebab itu, sebagaimana dikemukakan oleh
Elizabeth B. Hurlock (1981), remaja mulai memikirkan tentang masa depan mereka
secara sungguh-sungguh. Remaja mulai memberikan perhatian yang besar terhadap
berbagai lapangan kehidupan yang akan dijalaninya sebagai manusia dewasa di
masa mendatang. Di antara lapangan kehidupan di masa depan yang banyak mendapat
perhatian remaja adalah lapangan pendidikan (Nurni, 1984), di samping dunia
kerja dan hidup berumah tangga (Havighurst, 1984).
Menurut Nurmi (1991), skema kognitif tersebut berinteraksi dengan tiga
tahap proses pembentukan orientasi masa depan, yaitu : (1) motivation (motivasi)
(2) planning (perencanaan) dan (3) evaluation (evaluasi). Secra
skematis, keterkaitan antara skema kognitif dengan ketiga tahap pembentukan
orientasi masa depan itu.
Tahap motivational, tahap
motivasional merupakan tahap awal pembentukan orientasi masa depan remaja.
Tahap ini mencakup motif, minat dan tujuan yang berkaitan dengan orientasi masa
depan. Ketika keadaan masa depan beserta faktor pendukungnya telah menjadi
sesuatu yang diharapkan dapat terwujud, maka pengetahuan yang menunjang
terwujudnya harapan tersebut menjadi dasar penting bagi perkembangan motivasi
dari orientasi masa depan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Nurmi (1991), perkembangan motivasi dari
orientasi masa depan merupakan suatu proses yag kompleks, yang melihatkan
beberapa subtahap, yaitu : pertama, munculnya pengetahuan baru yang
relevan dengan motif umum atau penilaiian individu yang menimbulkan minat yang
lebih spesifik; kedua, individu mulai mengeksplorasi pengetahuannya yang
berkaitan dengan minat baru tersebut; ketiga, menentukan membuat
komitmen yang berisikan tujuan tersebut.
Tahap Planning, perencanaan merupakan tahap kedua proses
pembentukan orientasi masa depan individu, yaitu bagaimana remaja membuat
perencanaan tentang perwujudan minat dan tujuan mereka. Menurut Nurmi (1991),
perencanaan dicirikan sebagai suatu proses yang terdiri dari subtahap, yaitu: pertama,
penentuan subtujuan. Pada subtahap ini individu membentuk suatu representasi
dari tujuan-tujuannya dan konteks masa depan dimana tujuan tersebut diharapkan
dapat terwujud. Kedua hal ini di dasari oleh pengetahuan individu tentang
konteks dari aktivitas di masa depan. Kedua, penyusunan rencana. Pada
subtahap ini individu membuat rencana dan menetapkan strategi untuk mencapai
tujuan dalam konteks yang dipilih. Dalam menyusun suatu rencana, individu
dituntut menemukan cara-cara yang dapat mengarahkannya pada pencapaian tujuan
dan menentukan cara mana yang paling efisien.ketiga, melaksanakan
rencana dan strategi yang te;ah disusun. Dalam subtahap ini, individu dituntut
melakukan pengawsan terhadap pelaksanaan rencana tersebut. Pengawasan dapat
dilakukan dengan membandingkan tujuan yang telah ditetapkan dengan konteks yang
sesungguhnya di masa depan.
Tahap evaluation, evaluasi merupakan tahap akhir dari proses
pembentukan orientasi masa depan. Nurmi (1991), memandang evaluasi ini sebagai
proses yang melibatkan pengamatan dan melakukan penilaian terhadap tingkah laku
yang ditampilkan, serta memberikan penguat bagi diri sendiri. Jadi, meskipun
tujuan dan perencanaan orientasi masa depan belum diwujudkan, tetapi pada tahap
ini telah harus melakukan evaluasi terhadap kemungkinan-kemungkinan terwujudnya
tujuan dan rencana tersebut. Proses evaluasi melibatkan casual attributions yang
didasari oleh evaluasi kognitif individu mengenai kesempatan yang dimiliki
dalam mengendalikan masa depannya, dan affects berkaitan dengan
kondisi-kondisi yang sewaktu-waktu dan peranan penting, terutama dalam
mengevaluasi kesempatan yang ada untuk mewujudkan tujuan dan rencana sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki individu.
Dengan turut sertanya aspek kognitif, maka berarti perkembangan
orientasi masa depan sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitif. Menurut
Nurmi (1991), perkembangan orientasi masa depan terlihat lebih nyata ketika
individu telah mencapai tahap perkembangan pemikiran operasional formal.
Ini berarti masa depan. Hal ini karena sesuai dengan teori perkembangan
piaget, masa remaja telah mencapai tahap pemikiran operasional formal.Orientasi
tentang jenis pekerjaan di masa depan merupakan faktor penting yang
mempengaruhi minat dan kebutuhan remaja untuk yang akan menjalani pendidikan.
Jadi, pada dasarnya dunia pendidikan bagi remaja merupakan awal dari dunia
karirnya. Meskipun orientasi masa depan merupakan tugas perkembangan yang harus
dihadapi pada masa remaja dan dewasa awal, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
pengalaman dan pengetahuan remaja tentang kehidupan di masa mendatang sangat
terbatas. Untuk itu,remaja sangat membutuhkan bimbingan dan dukungan dari
berbagai pihak, terutama orang tua.
Penelitian Tromsdoff (1983), telah menunjukkan betapa dukungan dan
interaksi sosial yang terbina dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang
sangat penting bagi pembentukan orientasi masa depan remaja, terutama dalam
menumbuhkan sikap optimis dalam memandang masa depannya. Remaja yang mendapat
kasih sayang dan dukungan dari orang tuanya, akan mengembangkan rasa percaya
dan sikap yang positif terhadap masa depan, percaya akan keberhasilan yang akan
di capainya, serta lebih termotivasi untuk mencapai tujuan yang telah di
rumuskan di masa depan. Sebaliknya, remaja yang kurang dapat dukungan dari
orang tua, akan tumbuh menjadi individu yang kurang optimis, kurang memiliki
harapan tentang masa depan, kurang percaya atas kemampuannya merencanakan masa
depan, dan pemikirannya pun menjadi kurang sistematis dan kurang terarah.
d.
Perkembangan kognisi sosial
Menurut Dacey dan
Kenny (1997), yang dimaksud dengan kognisi sosial adalah kemampuan untuk berfikir
bicara kritis mengenai isu-isu dalam hubungan internasional, yang berkembang
sejalan dengan usia dan pengalaman, serta berguna untuk memahami orang lain.
Dan menentukan bagaimana melakukan interaksi dengan mereka.
Salah satu bagian
penting dari perubahan perkembangan aspek kognisi sosial remaja ini adalah apa
yang diistilahkan oleh psikolog David Elkind dengan egosentrisme yakni
kecenderungan remaja untuk menerima dunia (dan dirinya sendiri) dari
perspektifnya mereka sendiri. Dalam hal ini, remaja mulai mengembangkan suatu
gaya pemikiran egosentris. Di mana mereka lebih memikirkan tentang dirinya
sendiri dan seolah-olah memandang dirinya dari atas. Remaja mulai berfikir dan
menginterprestasikan kepribadian dengan cara sebagaimana yang dilakukan oleh para
ahli teori kepribadian berfikir dan menginterprestasikan kepribadian, dan
memantau dunia sosial mereka dengan cara-cara yang unik.
e.
Perkembangan Pemahaman tentang Agama
Seperti halnya moral, agama juga merupakan fenomena kognitif oleh sebab
itu, beberapa ahli psikolog perkembangan (seperti Seifert 7 Hoffnung)
menepatkan pembahasan tentang agama dalam kelompok bidang perkembangan
kognitif.
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral.
Bahkan sebagaimana dijelaskan oleh Adams 7 Gullotta (1983), agama memberikan
sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah
lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan
mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Agama memberikan perlindungan
rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksitensi dirinya.
Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman (1962) tentang perkembangan
pemahaman agama anak-anak dan remaja,ditemukan bahwa perkembangan pemahaman
agama pada remaja ada 2 tahap, yaitu formal operational dan operational
thought, di mana remaja memperlihatkan pemahaman agama yang lebih abstrak
dan hipotetis.
B. Perkembangan Psikososial
Perkembangan Individuasi dan Identitas
Dalam psikologi, konsep identitas pada umumnya merujuk pada suatu
kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, serta keyakinan yang relatif
stabil sepanjang rentang kehidupan, sekalipun terjadi berbagai perubahan.
Menurut Erikson (dalam Cremers, 1989) seseorang yang sedang mencari identitas
akan berusaha “menjadi seseorang”, yang berarti berusaha mengalami diri sendiri
sebagai “AKU” yang bersifat sentral, mandiri, unik, yang mempunyai suatu
kesadaran akan kesatuan batinnya, sekaligus juga berarti menjadi “seseorang”
yang diterima dan diakui oleh orang banyak. Lebih jauh dijelaskannya bahwa
orang yang sedang mencari identitas adalah orang yang ingin menentukan
“siapakah” atau “apakah” yang diinginkannya pada masa mendatang. Bila mereka
telah memperoleh identitas, maka ia akan menyadari ciri-ciri khas kepribadiannya,
seperti kesukaan atau ketidaksukaannya, aspirasi, tujuan masa depan yang
diantisipasi, perasaan bahwa ia dapat dan harus mengatur orientasi hidupnya.[5]
1)
Perkembangan Hubungan dengan Orang Tua
Perubahan-perubahan fisik, kognitif dan social yang terjadi dalam
perkembangan ramaja mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasi orang
tua-remaja. Salah satu ciri yang menonjol dari remaja yang mempengaruhi
relasinya dengan orang tua adalah perjuangan untuk memperoleh otonomi, baik
secara fisik maupun psikologis. Karena remaja lebih sedikit meluangkan waktunya
bersama orang tua dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk saling berinteraksi
dengan dunia yang lebih luas, maka mereka dihadapkan dengan bermacam-macam
nilai dan ide-ide. Seiring dengan terjadinya perubahan kognitif selama masa
remaja, perbedaan ide-ide yang dihadapi sering mendorongnya untuk melakukan
pemeriksaan terhadap nilai-nilai dan pelajaran-pelajaran yang berasal dari
orang tua. Akibatnya, remaja mulai mempertanyakan dan menentang pandangan-pandangan
orang tua serta mengembangkan ide-ide mereka sendiri. Orang tua tidak lagi
dipandang sebagai otoritas yang serba tahu.secara optimal, remaja mengembangkan
pandangan-pandangan yang lebih matangdan realistis dari orang tua mereka.[6]
2)
Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya
Perkembanga kehidupan social remaja juga ditandai dengan gejala
meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka. Sebagian besar
watunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman-teman sebaya
mereka.[7]
Berbeda halnya dengan masa anak-anak, hubungan teman sebaya remaja lebih
didasarkan pada hubungan persahabatan. Pada prinsipnya hubungan teman sebaya
mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan remaja. Dua ahli teori yang
berpengaruh, yaitu Jean Piaget dan Harry Stack Sullivan, menekankan bahwa
melalui hubungan sebaya anak dan remaja belajar tentang hubungan timbal balik
yang simetris.[8]
3)
Perkembangan Seksualitas
Salah satu fenomena kehidupan remaja yang sangat menonjol adalah
terjadinya peningkatan minat dan motivasi terhadap seksualitas. Terjadinya
peningkatan perhatian remaja terhadap kehidupan seksual ini sangat dipengaruhi
oleh factor perubahan-perubahan fisik selama periode pubertas. Terutama
kematangan organ-organ seksual dan perubahan-perubahan hormonal, mengakibatkan
munculnya dorongan-dorongan seksual dalam diri remaja. Dorongan seksual remaja
ini sangat tinggi, dan bahkan lebih tinggi dari dorongan seksual orang dewasa.
Sebagian anak muda yang belum memiliki pengalaman tentang seksual, tidak jarang
dorongan-dorongan seksual ini menimbulkan ketegangan fisik dan psikis.[9]
4)
Perkembangan Proaktivitas
Proaktivitas adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Stephen R.
Covey mengenai manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas hidupnya
sendiri. Perilakunya adalah fungsi dari keputusannya sendiri, dan ia mempunyai
inisiatif dan tanggung jawab untuk membuat segala sesuatuya terjadi. Manusia
tidak secara mekanistis merespon setiap stimulus yang datang kepadanya, tetapi
antara stimulus dan respons itu terdapat kekuatan yang amat besar, yaitu
kebebasan untuk memilih.[10]
a) Teori Psikososial
Erikson
Erikson adalah salah seorang teoritis ternama dalam bidang perkembangan
rentang hidup. Salah satu sumbangannya yang terbesar dalam psikolog
perkembangan adalah teori psokososial tentang perkembangan manusia berdasarkan
kualitas ego dalam delapan tahap perkembangan.
Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas, yang
mengharuskan individu menghadapi suatu krisis. Krisis ini bagi Erikson bukanlah
suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan kerentanan dan peningkatan
potensi, yang mempunyai kutup positif dan negarif. Semakin berhasil individu
mengatasi krisis, akan semakin sehat perkembangannya (Santrock, 1995).
C. Perkembangan Psikologis
Pembentukan konsep diri
Remaja adalah transisi dari priode anak ke dewasa. Ciri-ciri psikologis
itu menurut G.W. Alport (1961) adalah:
-
Pemekaran diri sendiri (extension of the self), yang
ditandai dengan kemampuan seorang untuk menganggap orang atau hal lain sebagian
dari dirinya sendiri juga. Perasaan egoisme (mementingkan diri sendiri)
berkurang, sebaliknya tumbuh perasaan ikut memiliki. Salah satu tanda yang khas
adalah tumbuhnya kemampuan untuk mencintai orang lain dan alam sekitarnya.
Disamping itu juga adalah berkembangnya ego ideal berupa cita-cita, idola dan
sebagainya yang menggambarkan bagaimana wujud ego (diri sendiri) di masa depan.
-
Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif
(self objectivication) yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan
tentang diri sendiri dan kemampuan untuk menangkap humor termasuk yang
menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran. Ia tidak marah jika dikritik dan
disaat-saat yang diperlukan ia bisa melepaskan diri dari dirinya sendiri dan
meninjau dirinya sendiri sebagai orang luar.
-
Memiliki falsafah hidup tertentu. Hal ini dapat dilakukan
tanpa peru merumuskannya dan mengucapkannya dalan katta-kata.orang yang sudah
dewasa tahu dengan tepat tempatnya dalam kerangka susunan objek-objek lain dan
manusia-manusia lain didunia. Ia tahnkedudukannya dalam masyarakat, ia paham
bagaimana sharusnya ia bertingkah laku dalam kedudukan tersebut dan ia erusaha
mencari jalannya sendiri menuju sasaran yang ia tetapkan sendiri.
C. Perkembangan Fase Remaja Madya dalam Perspektif Islam
Sudah menjadi ketentuan Allah SWT
bahwa manusia pasti akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam rentang
hidupnya, yaitu dari dalam kandungan menjadi masa kanak-kanak, remaja, dewasa,
parubaya, dan kemudian menjadi lemah dan renta dimana kesemuanya memilki
karakteristiknya masing-masing. Sebagaimana Allah berfirman pada QS. Ar-Rum
ayat 54 yang berbunyi :
* ª!$# Ï%©!$# Nä3s)n=s{ `ÏiB 7#÷è|Ê ¢OèO @yèy_ .`ÏB Ï÷èt/ 7#÷è|Ê Zo§qè% ¢OèO @yèy_ .`ÏB Ï÷èt/ ;o§qè% $Zÿ÷è|Ê Zpt7øx©ur 4 ß,è=øs $tB âä!$t±o ( uqèdur ÞOÎ=yèø9$# ãÏs)ø9$# ÇÎÍÈ
54. Allah, dialah yang
menciptakan kamu dari keadaan lemah, Kemudian dia menjadikan (kamu) sesudah
keadaan lemah itu menjadi kuat, Kemudian dia menjadikan (kamu) sesudah Kuat itu
lemah (kembali) dan beruban. dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan
dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.
Orang yang telah mencapai usia 40
tahun biasanya mulai menanmpakan tanda-tanda penuaan yang diantaranya menurut
Muhammad Musa Syarif (2007) adalah tampak penuaan pada rambut kepala dan
jenggotnya, dimana pada sebagian orang karena penuaan ini mereka merasa takut,
gelisah,dan berusaha menyembunyikan tanda penuaan yang telah nampak, sehingga
tidak jarang mereka merubahnya dengan berbagai cara dan media.
Dalam pandangan islam seseorang yang
telah dewasa, adalah orang-orang yang telah menanggung beban, artinya
bertanggung jawab atas anak-anaknya, baik dari segi pendidikan keagamaan,
kebutuhan fisik dan nonfisik, dll. Sebagaimana termaktub dalam QS. At-Tahrim
ayat 6:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ
6.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.
Usia dewasa akhir mulai umur 40
sampai 60 Tahun dan di tandai dengan perubahan jasmani dan mental dan terjadi
penurunan kekuatan fisik dan daya ingat. Ada sepuluh karakteristik yang terjadi
pada usia ini yaitu 1) usia madya merupakan periode yang menakutkan, 2) masa
ini merupakan usia transisi, 3) masa stress, 4) usia yang berbahaya, 5) masa
berprestasi, 6) usia canggung, 7) masa evaluasi, 8) evaluasi dengan standar
ganda, 9) masa sepi, 10) masa jenuh.
Kondisi yang mempengaruhi
penyesuaian pekerjaan pada usia ini adalah kepuasan kerja,sikap pasangan dan
teman kerja, serta harapan pekerjaan. Sedangkan kondisi yang merumitkan
penyesuaian diri terhadap pola keluarga pada usia ini adalah merasa tidak
berguna lagi, merawat anggota keluarga berusia lanjut, dan hilangnya peran
sebagai orang tua. Dan kondisi semacam ini tidak terjadi apabila setiap fase
perkembangan yang dilalui individu sangat kondusif. Usia ini adalah usia
kebijaksanaan sehingga kelihatan individu cenderung untuk mendekatkan diri pada
Allah sebagaimana dalam firman Allah SWT pada surat Al-Qashas ayat14 :
$£Js9ur x÷n=t/ ¼çn£ä©r& #uqtGó$#ur çm»oY÷s?#uä $VJõ3ãm $VJù=Ïãur 4 Ï9ºxx.ur ÌøgwU tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÍÈ
14. Dan setelah Musa
cukup umur dan Sempurna akalnya, kami berikan ke- padanya hikmah (kenabian) dan
pengetahuan. dan Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik.
Pada
usia 40 nabi diutus oleh Allah kepada manusia sebagai pembawa berita dan
pembawa berita ancaman. Karna itu pada umur ini tampak tanda yang menunjukan
kemana kecenderungan yang sebenarnya kearah kebaikan atau kejahatan. Imam malik
pernah berkata “Kami dapati banyak orang mencari ilmu pengetahuan sampai umur
40 tahun setalah itu ia akan menyibukan diri dengan mengamalkan apa yang telah
mereka pelajari dan tidak lagi waktu untuk menoleh pada dunia”.
D.Pengaruh lingkungan terhadap perkembangan jiwa remaja
Perilaku remaja sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan, di satu
pihak remaja mempunyai keinginan kuat untuk mengadakan interaksi sosial dalam
upaya mendapatkan kepercayaan dari lingkungan, di lain pihak ia mulai
memikirkan kehidupan secara mandiri, terlepas dari pengawasan orang tua dan
sekolah. Salah satu bagian perkembangan masa remaja yang tersulit adalah
penyesuaian terhadap lingkungan sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan
lawan jenis dalam hubungan interpesonal yang awalnya belum pernah ada, juga
harus mneyesuaika diri dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan
sekolah. Untuk mencapai hubungan pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat
banyak penyesuaian baru. Ia harus mempertimbangkan pengaruh kelompok sebaya,
perubahan dalam perilaku sosial, membentuk kelompok sosial baru dan nilai-nilai
baru dalam memilih teman.
a.
Lingkungan keluarga
Keluarga merupaka lingkungan pertama dan
utama bagi perkembangan anak. Peranan ibu dan ayah atau orang tua pengganti
(nenek, kakek dan orang dwasa lainnya) sangat besar. Apabila proses
identifikasi ini tidak berjalan dengan lancar, maka dapat timbul proses
identifikasi yang salah.
Banyak penelitian yang dilakukan para ahli
menemukan bahwa remaja yang berasal dari keluarga yang pernuh perhatian, hangat
dan harmonis mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan diri dan sosialisasi yang
baik dengan lingkungan sekitarnya.
Lingkungan keluarga yang dapat berpengaruh
terhadap perkembangan jiwa remaja adalah pola asuh keluarga, kondisi keluarga
dan pendidikana moral dalam keluarga.
b.
Lingkungan sekolah
Pengaruh yang juga cukup kuat dalam
perkembangan remaja adalah lingkungan sekolah. Umumnya orang tua menaruh
harapan yang besar pada pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, dalam memilih sekolah, orang tua
perlu mempertimbangkan hal-hal, seperti suasana sekolah (kedisiplinan, kebiasaan
belajar dan pengendalian diri) dan bimbingan guru.
c.
Lingkungan teman sebaya
Remaja lebih banyak berada di luar rumah
bersama dengan teman sebaya. Jadi dapat dimengerti bahwa, sikap, pembicaraan,
minat, penampilan dan perilaku teman sebaya lebih besar pengaruhnya daripada
keluarga.[11]
Di dalam kelompok sebaya, remaja berusaha
menemukan konsep dirinya. Disini ia dinilai oleh teman sebayanya tanpa
memperdulikan sanksi-sanksi dunia dewasa. Kelompok sebaya memberikan lingkungan
yaitu dunia tempat remaja dapat melakukan sosialisasi dimana nilai yang berlaku
bukanlah nilai yang ditetapkan oleh orang deasa, melainkan oleh teman
seusianya. Disinilah letak berbahayanya bagi perkembangan jiwa remaja, apabila
nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebayanya adalah nilai yang negatif.
Akan lebih berbahaya apabila kelompok sebaya ini cenderung tertutup, dimana
setiap anggota tidak dapat terlepas dari kelompoknya dan harus mengikuti nilai
dikembangkan oleh pimpinan kelompok. Sikap, pikiran, perilaku dan gaya hidupnya
merupakan perilaku dan gaya hidup kelompoknya.[12]
d.
Lingkungan masyarakat
Dalam kehidupannya, manusia dibimbing oleh
nilai-nilai yang merupakan pandangan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk.
Nilai yang baik harus diikuti dan dianut, sedangkan yang buruk harus dihindari.
Sesuai dengan aspek rohaniah dan jasmaniah ada pada manusia, maka manusia
dibimbing oleh pasangan nilai materi dan non materi. Apabila manusia hendak
hidup secara damai di masyarakat, maka sebaiknya kedua nilai yang yang
merupakan pasangan tadi diserasikan. Akan tetapi, kenyataan dewasa ini,
menunjukkan bahwa nilai materi lebih besar daripada nilai non materi atau
spiritual. Hal ini terbukti dari kenyataan, bahwa sebagai tolak ukur peranan
seseorang dalam masyarakat adalah kebendaan dan kedudukan.
C. Kaitan antara Perkembangan Remaja dengan Pendidikan Andragogi
A. Pengertian Andragogi
Andragogi berasal dari kata yunani
yaitu andr yang berarti orang dewasa dan agogos yang berarti
memimpin atau membimbing. Maka dengan demikian, andragogi di rumuskan sebagai
suatu ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar.
B. Beberapa asumsi dan implikasinya
Ada perbedaan yang mendasar mengenai asumsi yang digunakan oleh
andragogi dan pedagogi. Andragogi pada dasarnya menggunakan asumsi-asumsi
sebagai berikut:
1.
Konsep diri
Konsep diri pada seorang anak adalah bahwa dirinya tergantung kepada
orang lain. Seorang anak sesungguhnya merupakan kepribadian yang tergantung
pada pihak lain, hampir seluruh kehidupannya diatur oleh orang yang sudah
dewasa, baik dirumah, ditempat bermain, disekolah maupun ditempat ibadah.
Katika anak sudah mulai beranjak dewasa, mereka sudah mulai berkurang
ketergantungannya terhadap orang lain, dan mulai tumbuh kesadarannya dan merasa
dapat mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Selama proses perubahan dari
ketergantungan kepada orang lain ke arah mampu untuk berdiri sendiri, secara
psikologis orang tersebut sudah dipandang dewasa. Ia memandang sudah mampu
untuk sepenuhnya mengatur dirinya sendiri. Oleh karena itu, seorang dewasa
memerlukan perlakuan yang sifatnya menghargai, khususnya dalam pengambilan
keputusan.
Dilain pihak apabila orang dewasa dibawa ke dalam situasi belajar yang
memerlukan mereka dengan penuh penghargaan, maka mereka akan melakukan proses
belajar tersebut dengan penuh pelibatan dirinya secara mendalam. Dalam situasi
seperti ini, orang dewasa telah mempunyai kemauan sendiri (pengarahan diri)
untuk belajar.
2.
Pengalaman
Setiap
orang dewasa mempunyai pengalaman yang berbeda sebagai akibat latar belakang
kehidupan masa mudanya. Makin lama ia hidup, makin menumpuk pengalaman yang ia
punyai dan maikn berbeda pula pengalamannya dengan orang lain.
Nampaknya
pengalaman bagi orang dewasa dan anak-anak berbeda pula. Bagi anak-anak
pengalaman itu adalah sesuatu yang terjadi pada dirinya. Ini berarti merupakan
suatu stimulus yang berasal dari luar dan mempengaruhi dirinya dan bukan
merupakan bagian yang terpadu dengan dirinya. Tetapi bagi orang dewasa,
pengalaman itu adalah dirinya sendiri. Ia merumuskan siapa dia, dan menciptakan
identitas dirinya atas dasar seperangkat pengalamannya yang unik.
Perbedaan
pengalaman antara orang dewasa dan anak menimbulkan konsekuensi dalam belajar.
Konsekuensi itu, pertama bahwa orang dewasa mempunyai kesempatan yang
lebih untuk mengkontribusikan dalam proses belajar orang lain. Hal ini
disebabkan karena ia merupakan sumber belajar yang kaya. Kedua, orang
dewasa mempunyai dasar pengalaman yang lebih kaya yang berkaitan dengan
pengalaman baru (belajar sesuatu yang baru mempunyai kecenderungan mengambil
makna dari pengalaman yang lama). Ketiga, orang dewasa telah mempunyai
pola pikir dan kebiasaan yang pasti dan karenanya mereka cenderung kurang
terbuka.
3.
Kesiapan untuk belajar
Hasil studi terakhir menunjukkan bahwa orang dewasa mempunyai masa
kesiapan untuk belajar. Masa ini sebagai akibat dari peranan sosialnya. Robert
J. Havighurst membagi masa dewasa itu atas tiga fase serta mengidentifikasi 10
peranan sosial dalam masa dewasa. Ketiga masa fase itu adalah masa dewasa awal
umur antara 18-30 tahun, masa dewasa pertengahan umur antara 30-55 tahun, dan
masa dewasa akhir berumur antara 55 tahun lebih. Sedangkan kesepuluh peranan
sosial pada masa dewasa adalah sebagai pekerja, kawan, orang tua, kepala rumah
tangga, anak dari orang tua yang sudah berumur, warga negara, anggota
organisasi, kawan sekerja, anggota keagamaan dan pemakai waktu luang. Menurut
havighurst, penampilan orang dewasa dalam melaksanakan peranan sosialnya berubah
sejalan dengan dengan perubahan dari ketiga fase masa dewasa itu, sehingga hal
ini mengakibatkan pula perubahan dalam kesiapan belajar.
4.
Orientasi terhadap belajar
Dalam belajar, antara orang dewasa dengan anak-anak berbeda dalam
perspektif waktunya. Hal ini akan menghasilkan perbedaan pula dalam cara
memandang terhadap belajar. Anak-anak cenderung mempunyai perspektif untuk
menunda aplikasi apa yang ia pelajari. Bagi anak-anak, pendidikan dipandang
sebagai suatu proses penumpukan pengetahuan dan keterampilan, yang nantinya
diharapkan akan dapat bermanfaat dalam kehidupannya kelak.
Sebaliknya bagi orang dewasa, mereka cenderung mempunyai perspektif
untuk secepatnya mengaplikasikan apa yang mereka pelajari. Mereka terlibat
dalam kegiatan belajar, sebagian besar karena adanya respon terhadap apa yang
dirasakan dalam kehidupannya sekarang. Oleh karena itu, pendidikan bagi orang
yang sudah dewasa dipandang sebagai suatu proses untuk meningkatkan
kemampuannya dalam memecahkan masalah hidup yang ia hadapi.
Implikasi dalam proses belajar orang dewasa dengan adanya perbedaan
dalam orientasi terhadap belajar antara orang dewasa dan anak-anak adalah:
a.
Para pendidik orang dewasa bukanlah berperan sebagai
seorang guru yang mengajarkan mata pelajaran tertentu, tetapi ia berperan
sebagai pemberi bantuan kepada orang yang belajar.
b.
Kurikulum dalam pendidikan orang dewasa tidak
berorientasikan kepada mata pelajaran tertentu, tetapi berorientasikan kepada
masalah. Hal ini disebabkan karena orang dewasa cenderung berorientasikan kepada
masalah dalam orientasi belajarnya.
c.
Oleh karena orang dewasa dalam belajar berorientasi
kepada masalah maka pengalaman belajar yang dirancang berdasarkan pula masalah
atau perhatian yang ada pada benak mereka.
C. Beberapa asumsi mengenai belajar dan mengajar
Pendekatan yang
bersifat andragogi dalam proses belajar mengajar, didasarka kepada tiga
tambahan asumsi sebagai berikut:
1.
Orang dewasa dapat belajar
Semula ada anggapan
berdasarkan laporan yang dikemukakan oleh E.L Thorndike bahwa kemampuan untuk
belajar seseorang menurun secara perlahan sesudah 20 tahun. Tetapi hasil studi
terakhir yang dikemukakan oleh Irving Lorge menunjukkan bahwa menurunnya itu
hanya dalam kecepatan belajarnya dan bukan dalam kekuatan intelektualnya.
Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan
bahwa dasar kemampuan untuk belajar masih tetap ada sepanjang hidup orang
tersebut, dan oleh karen itu apabila seseorang tidak menampilkan kemampuan
belajar yang sebenarnya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti orang
tersebut sudah lama meninggalkan cara belajar yang sistematik atau karena
adanya perubahan-perubahan faktor fisiologik seperti menurunnya pendengaran dan
pengelihatan atau tenaganya.
2.
Belajar adalah suatu proses dari dalam
Ada suatu kecenderungan untuk
memandang pendidikan sebagai informasi yang ditransmisikan dan melihat belajar
sebagai suatu proses intelektual dalam menyimpan fakta-fakta. Asumsi yang
tersembunyi dari kecenderungan pendapat ini adalah bahwa belajar dipandang
sebagai suatu proses yang bersifat eksternal dalam arti peserta didik belajar
terutama ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar seperti guru yang
terampil, bahan bacaan yang baik dan sejenisnya.
Pandangan yang bersifat tradisional diatas
tidak seluruhnya benar, pandangan baru mengemukakan bahwa belajar merupakan
suatu proses dari dalam yang dikontrol langsung oleh peserta sendiri serta
melibatkan dirinya, termasuk fungsi intelek, emosi dan fisiknya. Belajar secara psikologi
dipandang sebagai suatu proses pemenuhan kebutuhan dan tujuan. Ini berarti
bahwa peserta merasakan adanya kebutuhan untuk belajar dan melihat tujuan
pribadi akan dapat tercapai dengan bantuan belajar.
3.
Kondisi belajar dan prinsip-prinsip mengajar
Ada beberapa kondisi belajar
dan prinsip-prinsip mengajar yang perlu dianut dalam proses belajar mengajar
yang bersifat andragogi. Kondisi belajar dan prinsip-prinsip mengajar ini dapat
dikemukakan sebagai berikut:
Kondisi belajar
|
Prinsip-prinsip mengajar
|
Peserta merasa ada kebutuhan untuk belajar.
Lingkungan belajar ditandai oleh keadaan fisik yang
menyenangkan, saling menghormati dan mempercayai, saling membantu, kebebesan
mengemukakan pendapatnya, dan setuju adanya perbedaan.
Peserta memandang tujuan pengalaman belajar menjadi
tujuan mereka sendiri.
Peserta dapat menyetujui untuk saling tanggung jawab
dalam perencanaan dan melaksanakan pengalaman belajar, dan karenanya mereka
mempunyai rasa memiiki terhadap hal tersebut
Peserta berpartisipasi secara aktif dalam proses
belajar.
Proses belajar dikaitkan dan menggunakan pengalaman
peserta.
Peserta mempunyai rasa kemajuan terhadap tujuan belajar
mereka.
|
1) Fasilitator
mengemukakan kepada peserta kemungkinan-kemungkinan baru untuk pemenuhan
dirinya.
2) Fasilitator
membantu setiap peserta untuk memperjelas aspirasi dirinya untuk peningkatan
perilakunya.
3) Fasilitator
membantu peserta mendiagnosa perbedaan
aspirasinya dengan tingkat penampilannya sekarang.
4) Fasilitator
membantu peserta mengidentifikasi masalah-masalah kehidupan yang mereka alami
karena adanya perbedaan tadi.
5) Fasiliator
memberikan kondisi fisik yang menyenangkan seperti tempat duduk, ventilasi,
lampu dan sejenisnya dan kondusif untuk terciptanya interaksi antara peserta
satu sama lain.
6) Fasiliator
memandang bahwa setiap peserta merupakan pribadi yang bermanfaat dan
menghormati perasaan dan gagasan gagasannya.
7) Fasiliator
membangun hubungan saling membantu antara peserta dengan mengembangkan
kegiatan-kegiatan yang bersifat kooperatif dan mencegah adanya persaingan dan
memberikan penilaian.
8) Fasiliator
melibatkan peserta dalam suatu proses merumuskan tujuan belajar dimana
kebutuhan peserta, lembaga, pengajar dan masyarakat ikut dipertimbangkan
pula.
9) Fasiliator ikut
turun juga dalam merancang pengalaman belajar dan memilih bahan-bahan dan
metode serta melibatkan peserta dalam setiap keputusan bersama-bersama.
10) Fasiliator
membantu peserta mengorganisir dirinya (kelompok untuk melakukan proyek, team
belajar mengajar, studi bebas dan lain-lain) untuk tanggung jawab dalam
proses pencarian bersama.
11) Fasiliator
membantu peserta menggunakan pengalaman mereka sendiri sebagai sumber belajar
melalui penggunaan teknik seperti diskusi, permainan peran, kasus, dan
sejenisnya.
12) Fasiliator menyampaikan
presentasinya berdasarkan sumber-sumber dari dirinya terhadap tingkat
pengalaman peserta.
13) Fasiliator
mambantu peserta untuk mengaplikasikan belajar baru terhadap pengalam mereka,
dan ini berarti membuat belajar lebih bermakna dan terpadu.
14) Fasiliator
melibatkan peserta dalam mengembangkan kriteria yang disetujui bersama serta
metode dalam mengukur kemajuan terhadap tujuan belajar.
15) Fasiliator
membantu peserta mengembangkan dan mengaplikasikan prosedur dalam
mengevaluasi diri sendiri berdasarkan kriteria itu.
|
BAB III KESIMPULAN
Dari pembahasan di
atas, dapat diambil kesimpulan, yaitu:
1. Remaja merupakan masa peralihan dari masa
kanak-kanak, terbagi menjadi tiga yaitu, remaja awal, remaja pertengahan dan
remaja akhir.
2. Fase-fase perkembangan pada remaja, yaitu
perkembangan fisik, perkembangan kognitif, perkembangan psikososial dan
perkembangan psikologis.
3. Pada usia 40 nabi diutus oleh Allah kepada manusia sebagai pembawa
berita dan pembawa berita ancaman. Karna itu pada umur ini tampak tanda yang menunjukan
kemana kecenderungan yang sebenarnya kearah kebaikan atau kejahatan.
4. Pengaruh lingkungan terhadap perkembangan
jiwa remaja, yaitu dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan
teman sebaya dan lingkungan masyarakat.
5.
Implikasi dalam proses belajar orang dewasa dengan adanya
perbedaan dalam orientasi terhadap belajar antara orang dewasa dan anak-anak
adalah:
a.
Para pendidik orang dewasa bukanlah berperan sebagai
seorang guru yang mengajarkan mata pelajaran tertentu, tetapi ia berperan sebagai
pemberi bantuan kepada orang yang belajar.
b.
Kurikulum dalam pendidikan orang dewasa tidak
berorientasikan kepada mata pelajaran tertentu, tetapi berorientasikan kepada
masalah. Hal ini disebabkan karena orang dewasa cenderung berorientasikan
kepada masalah dalam orientasi belajarnya.
c.
Oleh karena orang dewasa dalam belajar berorientasi
kepada masalah maka pengalaman belajar yang dirancang berdasarkan pula masalah
atau perhatian yang ada pada benak mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Desmita. 2013. Psikologi
Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumiyati, dkk.
2009. Kesehatan Jiwa Remaja dan Konseling. Jakarta: Trans Info Media.
Yusuf, H. Syamsu.
2010. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
[1] Sumiati, Dinarti dkk. Kesehatan
Jiwa Remaja dan Remaja. 2009. Jakarta: Trans Info Media. hal. 9-11. Cet.
ke-1.
[2] Yusuf, H. Syamsu. Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja. 2010. Bandung: Remaja Rosdakarya. hal. 184.
Cet. ke-11.
[3] Desmita. Psikologi
Perkembangan. 2013. Bandung: Remaja Rosdakarya. hal. 189. Cet. ke-8.
[4] Ibid. Psikologi Perkembangan.
hal. 190.
[5] Ibid. Psikologi Perkembangan.
hal. 211.
[6] Ibid. Psikologi Perkembangan.
hal. 217-218.
[7] Ibid. Psikologi Perkembangan.
hal. 219.
[8] Ibid. Psikologi Perkembangan.
hal. 220.
[9] Ibid. Psikologi Perkembangan.
hal. 222.
[10] Ibid. Psikologi Perkembangan.
hal. 224.
[11] Ibid. Kesehatan Jiwa Remaja
dan Konseling. hal. 47.
[12] Ibid. Kesehatan Jiwa Remaja
dan Konseling. hal. 48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar