Rabu, 25 Januari 2017

Ilmu Akhlak Tasawuf



MAKNA TAJRID (MEMBEBASKAN DIRI DARI DUNIA) DAN IKTISAB (SIBUK MENCARI DUNIA)
OLEH : Maulidia Poetri

A. PENDAHULUAN
Tajrid adalah mengosongkan sesuatu daripada yang lain, tajrid dalam makna tasawuf ini adalah mengeluarkan diri dari dunia. Namun ada juga makna Iktisab yang mempunyai arti sibuk dengan dunia. Kedua makna tersebut mempunyai manfaatnya masing masing untuk di amalkan.
Sekurang-kurangnya ada tiga tujuan dari latar belakang kedua makna tersebut dan di rumuskan sebagai berikut : Pertama, Apa makna Tajrid?, Kedua, Apa makna Iktisab?, Ketiga, Apa manfaat dari Tajrid dan Iktisab? Berikut Pembahasannya:
B. PEMBAHASAN
1. Makna Tajrid
Tajrid secara bahasa adalah mengosongkan sesuatu daripada yang lain. Bahwa jika kita sedang menghadap Allah, maka penuhkanlah perhatian hanya kepada Allah dan kosongkan perhatian daripada yang lain. Demikianlah juga jika engkau mengerjakan sesuatu maka penuhkanlah perhatian kepada perbuatan tersebut dengan niat kepada Allah dan kosongkan daripada yang lain dan hanya menghadapkan diri kepada Allah itulah yang dimaksud dalam kalimat “iyyaka na’budu waiyyaka nastain” pada surat Al-fatihah. Iyyaka merupakan objek yang dilakukan untuk tujuan pembatasan, supaya tujuan pembicara terfokus pada apa yang hendak di utarakan. Ibnu Abbas r.a berkata, “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah”, berarti hanya kepada Engkaulah kami mengesankan, takut, dan berharap, bukan kepada selain Engkau. Iyyaka na’budu didahulukan daripada iyyaka nasta’iinu, karena ibadah merupakan tujuan, sedangkan permintaan tolong merupakan sarana untuk mencapai ibadah.[1] 
Allah berfirman pada surat An-Nisaa:77 yaitu:
ö@è% ßì»tFtB $u÷R9$# ×@Î=s% äotÅzFy$#ur ׎öyz Ç`yJÏj9 4s+¨?$#
77. Katakanlah: "Kesenangan di dunia Ini Hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa”. (An-Nisaa;77)
Setelah Allah SWT memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin bahwa cahaya mereka pada hari kiamat bersinar di hadapan mereka dan di sebelah kanan mereka, di samping menganjurkan mereka supaya berjernih payah dan jangan lalai, dan Allah menyebutkan pula tentang pahala orang-orang yang bersedakah, laki-laki dan perempuan, maka yang begitu cepat sirna dan binasa. Dalam hal ini Allah memisalkan dunia sebagai tanah yang mendapat hujan, lalu menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang hijau segar, sehingga mengagumkan para petani dengan pertumbuhan dan hasilnya yang baik. Namun sesudah itu tiba-tiba tanam-tanaman itu menjadi kuning, padahal asalnya hijau segar. Lalu kering dan hancur luluh. Dan dunia ini tak lain adalah sawah untuk akhirat. Maka barangsiapa menanam bijinya dengan ini dengan baik, maka ia pun mengetam dan berbala. Gambaran siapa yang lalai serta malas, maka dia akan menyesal pada saat penyesalan tiada berguna lagi.[2]
2. Makna Iktisab
Iktisab merupakan sebuah penyakit yang selalu terjadi pada Manusia, maksudnya adalah Sibuk mencari Dunia atau Cinta Dunia, orang yang tertimpa penyakit cinta dunia ini sebenarnya tidak meyakini bahwa kehidupan yang dijalaninya di dunia adalah sementara. Kenikmatan dan kesenangan yang dikejarnya di dunia tidak ada artinya setelah ia mati. Si akhirat kelak, keimanan dan kecintaan seseorang kepada Allah SWT-lah yang menentukan ia layak di surga daripada kecintaan terhadap dunia dan perhiasan dunia.
Kecintaan manusia pada dunia, mengejar-ngejarnya serta larut dalam kenikmatan dan kesenangannya. Biasanya dipengaruhi beragam faktor terpenting adalah raibnya keimanan pada kehidupan akhirat. Adakalanya seorang beriman kepada akhirat, hari kebangkitan, dan hari penghisaban, namun tetap menuruti keinginan-keinginannya dan menunda-nunda tobatnya. Ia pura-pura tidak tahu bahwa hanya Allah SWT yang mengetahui bila ajalnya bakal tiba.[3]
Allah berfirman dalam surat Ibrahim:2-3 yaitu:
«!$# Ï%©!$# ¼ã&s! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 ×@÷ƒurur šúï̍Ïÿ»s3ù=Ïj9 ô`ÏB 5>#xtã >ƒÏx© ÇËÈ tûïÏ%©!$# tbq7ÅstFó¡o no4quŠysø9$# $u÷R9$# n?tã ÍotÅzFy$# šcrÝÁtƒur `tã È@Î6y «!$# $pktXqäóö7tƒur %¹`uqÏã 4 y7Í´¯»s9'ré& Îû ¤@»n=|Ê 7Ïèt/ ÇÌÈ
2.  Allah-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir Karena siksaan yang sangat pedih. 3.  (yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.
Maksud ayat di atas adalah “Tuhan yang memiliki segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi,maka celakalah orang-orang kafir yang menentangmu dan mendustakanmu, hai Muhammad dan yang mengutamakan kehidupan duniawi mereka di atas kehidupan akhirat kelak, sehingga semua amal perbuatan mereka hanya tertuju untuk kebahagiaan duniawi saja sedang amal perbuatan yang untuk kebahagiaan mereka di akhirat mereka lupakan dan ditinggalkan di belakang punggung mereka. Di samping itu mereka selalu menghalang-halangi orang di jalan Allah, jalan yang ditempuh oleh para Rasul-Nya dan selalu mengkhendaki agar jalan Allah itu bengkok dan miring. Demikianlah kesesatan dan kebodohan mereka dan niscaya kelak akhirat mereka akan menerima siksa yang pedih sebagai pembalasan atas perbuatan dan tingkah laku mereka di dunia.[4]
3. Manfaat Dari Tajrid dan Iktisab
Kedua makna di atas tersebut sama sama mempunyai kemanfaatan, Allah berfirman dalam surat Al-Qashas:77 yaitu:
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù š9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šøs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ  
77.  Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Kedua makna tersebut haruslah seimbang, jika tidak seimbang maka tidak akan ada manfaatnya, ada yang dirugikan dan ada yang diuntungkan. Jika kita mengejar dunia maka kita tidak akan mendapatkan kenikmatan di akhirat nanti bahkan kita tidak akan mendapatkan apa apa di akhirat, jika kita mengejar akhirat tentu saja kita pasti akan mendapat kenikmatan dunia. Namun kita juga tidak boleh terlalu mengejar akhirat kalau menyebabkan kita melupakan tugas kita di dunia. Maka lakukanlah kedua makna tersebut dengan seimbang sehingga bisa mendapatkan manfaatnya masing-masing.
C. KESIMPULAN
1. Tajrid adalah mengosongkan sesuatu daripada yang lain. Bahwa jika kita sedang menghadap Allah, maka penuhkanlah perhatian hanya kepada Allah dan kosongkan perhatian daripada yang lain. Demikianlah juga jika engkau mengerjakan sesuatu maka penuhkanlah perhatian kepada perbuatan tersebut dengan niat kepada Allah dan kosongkan daripada yang lain dan hanya menghadapkan diri kepada Allah.
2. Iktisab adalah Sibuk mencari Dunia atau Cinta Dunia, orang yang tertimpa penyakit cinta dunia ini sebenarnya tidak meyakini bahwa kehidupan yang dijalaninya di dunia adalah sementara. Kenikmatan dan kesenangan yang dikejarnya di dunia tidak ada artinya setelah ia mati.
3. Kedua makna di atas tersebut sama sama mempunyai kemanfaatan, namun Kedua makna tersebut haruslah seimbang, jika tidak seimbang maka tidak akan ada manfaatnya. Ada yang dirugikan dan ada yang diuntungkan, jika kita mengejar dunia maka kita tidak akan mendapatkan kenikmatan di akhirat nanti bahkan kita tidak akan mendapatkan apa apa di akhirat, jika kita mengejar akhirat tentu saja kita pasti akan mendapat kenikmatan dunia. Namun kita juga tidak boleh terlalu mengejar akhirat kalau menyebabkan kita melupakan tugas kita di dunia. Maka lakukanlah kedua makna tersebut dengan seimbang sehingga bisa mendapatkan manfaatnya masing-masing.




[1] Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerbit Maktabah Ma’arif, Riyadh, jilid 1, cetakan pertama, hlm 62
[2] Ahmad Musthafa Al-Maraghi,Tafsir Al-Maraghi,CV Toha Putra, Semarang, 1989, hlm 311
[3] Muhammad Kamil Hasan Al-Mahami, Ensiklopedia Al-Quran tematis, PT Kharisma Ilmu, Jakarta, hlm 7-8
[4] Salim Bahreisy, Said Bahreisy,Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1988, hlm 465

Tidak ada komentar:

Posting Komentar