MAKNA
TAJRID (MEMBEBASKAN DIRI DARI DUNIA) DAN IKTISAB (SIBUK MENCARI DUNIA)
OLEH : Maulidia Poetri
A. PENDAHULUAN
Tajrid
adalah mengosongkan sesuatu daripada yang lain, tajrid dalam makna tasawuf ini
adalah mengeluarkan diri dari dunia. Namun ada juga makna Iktisab yang
mempunyai arti sibuk dengan dunia. Kedua makna tersebut mempunyai manfaatnya
masing masing untuk di amalkan.
Sekurang-kurangnya
ada tiga tujuan dari latar belakang kedua makna tersebut dan di rumuskan
sebagai berikut : Pertama, Apa makna Tajrid?, Kedua,
Apa makna Iktisab?, Ketiga, Apa manfaat dari Tajrid dan
Iktisab? Berikut Pembahasannya:
B. PEMBAHASAN
1. Makna
Tajrid
Tajrid
secara bahasa adalah mengosongkan sesuatu daripada yang lain. Bahwa jika kita
sedang menghadap Allah, maka penuhkanlah perhatian hanya kepada Allah dan
kosongkan perhatian daripada yang lain. Demikianlah juga jika engkau
mengerjakan sesuatu maka penuhkanlah perhatian kepada perbuatan tersebut dengan
niat kepada Allah dan kosongkan daripada yang lain dan hanya menghadapkan diri
kepada Allah itulah yang dimaksud dalam kalimat “iyyaka na’budu waiyyaka
nastain” pada surat Al-fatihah. Iyyaka merupakan objek yang
dilakukan untuk tujuan pembatasan, supaya tujuan pembicara terfokus pada apa
yang hendak di utarakan. Ibnu Abbas r.a berkata, “Hanya kepada Engkaulah kami
beribadah”, berarti hanya kepada Engkaulah kami mengesankan, takut, dan
berharap, bukan kepada selain Engkau. Iyyaka na’budu didahulukan
daripada iyyaka nasta’iinu, karena ibadah merupakan tujuan, sedangkan permintaan
tolong merupakan sarana untuk mencapai ibadah.[1]
Allah
berfirman pada surat An-Nisaa:77 yaitu:
ö@è% ßì»tFtB $u÷R9$# ×@Î=s% äotÅzFy$#ur ×öyz Ç`yJÏj9 4s+¨?$#
77. Katakanlah:
"Kesenangan di dunia Ini Hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertakwa”. (An-Nisaa;77)
Setelah
Allah SWT memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin bahwa cahaya mereka
pada hari kiamat bersinar di hadapan mereka dan di sebelah kanan mereka, di
samping menganjurkan mereka supaya berjernih payah dan jangan lalai, dan Allah
menyebutkan pula tentang pahala orang-orang yang bersedakah, laki-laki dan
perempuan, maka yang begitu cepat sirna dan binasa. Dalam hal ini Allah
memisalkan dunia sebagai tanah yang mendapat hujan, lalu menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan yang hijau segar, sehingga mengagumkan para petani dengan
pertumbuhan dan hasilnya yang baik. Namun sesudah itu tiba-tiba tanam-tanaman
itu menjadi kuning, padahal asalnya hijau segar. Lalu kering dan hancur luluh.
Dan dunia ini tak lain adalah sawah untuk akhirat. Maka barangsiapa menanam bijinya
dengan ini dengan baik, maka ia pun mengetam dan berbala. Gambaran siapa yang
lalai serta malas, maka dia akan menyesal pada saat penyesalan tiada berguna
lagi.[2]
2. Makna Iktisab
Iktisab
merupakan sebuah penyakit yang selalu terjadi pada Manusia, maksudnya adalah
Sibuk mencari Dunia atau Cinta Dunia, orang yang tertimpa penyakit cinta dunia
ini sebenarnya tidak meyakini bahwa kehidupan yang dijalaninya di dunia adalah
sementara. Kenikmatan dan kesenangan yang dikejarnya di dunia tidak ada artinya
setelah ia mati. Si akhirat kelak, keimanan dan kecintaan seseorang kepada
Allah SWT-lah yang menentukan ia layak di surga daripada kecintaan terhadap
dunia dan perhiasan dunia.
Kecintaan
manusia pada dunia, mengejar-ngejarnya serta larut dalam kenikmatan dan kesenangannya.
Biasanya dipengaruhi beragam faktor terpenting adalah raibnya keimanan pada
kehidupan akhirat. Adakalanya seorang beriman kepada akhirat, hari kebangkitan,
dan hari penghisaban, namun tetap menuruti keinginan-keinginannya dan
menunda-nunda tobatnya. Ia pura-pura tidak tahu bahwa hanya Allah SWT yang
mengetahui bila ajalnya bakal tiba.[3]
Allah
berfirman dalam surat Ibrahim:2-3 yaitu:
«!$# Ï%©!$# ¼ã&s! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 ×@÷urur úïÌÏÿ»s3ù=Ïj9 ô`ÏB 5>#xtã >Ïx© ÇËÈ tûïÏ%©!$# tbq7ÅstFó¡o no4quysø9$# $u÷R9$# n?tã ÍotÅzFy$# crÝÁtur `tã È@Î6y «!$# $pktXqäóö7tur %¹`uqÏã 4 y7Í´¯»s9'ré& Îû ¤@»n=|Ê 7Ïèt/ ÇÌÈ
2.
Allah-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. dan
kecelakaanlah bagi orang-orang kafir Karena siksaan yang sangat pedih. 3. (yaitu) orang-orang yang lebih menyukai
kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia)
dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu
berada dalam kesesatan yang jauh.
Maksud
ayat di atas adalah “Tuhan yang memiliki segala apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi,maka celakalah orang-orang kafir yang menentangmu dan
mendustakanmu, hai Muhammad dan yang mengutamakan kehidupan duniawi mereka di
atas kehidupan akhirat kelak, sehingga semua amal perbuatan mereka hanya
tertuju untuk kebahagiaan duniawi saja sedang amal perbuatan yang untuk
kebahagiaan mereka di akhirat mereka lupakan dan ditinggalkan di belakang
punggung mereka. Di samping itu mereka selalu menghalang-halangi orang di jalan
Allah, jalan yang ditempuh oleh para Rasul-Nya dan selalu mengkhendaki agar
jalan Allah itu bengkok dan miring. Demikianlah kesesatan dan kebodohan mereka
dan niscaya kelak akhirat mereka akan menerima siksa yang pedih sebagai
pembalasan atas perbuatan dan tingkah laku mereka di dunia.[4]
3. Manfaat
Dari Tajrid dan Iktisab
Kedua
makna di atas tersebut sama sama mempunyai kemanfaatan, Allah berfirman dalam
surat Al-Qashas:77 yaitu:
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù 9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( wur [Ys? y7t7ÅÁtR ÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJ2 z`|¡ômr& ª!$# øs9Î) ( wur Æ÷ö7s? y$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
77. Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.
Kedua
makna tersebut haruslah seimbang, jika tidak seimbang maka tidak akan ada
manfaatnya, ada yang dirugikan dan ada yang diuntungkan. Jika kita mengejar
dunia maka kita tidak akan mendapatkan kenikmatan di akhirat nanti bahkan kita
tidak akan mendapatkan apa apa di akhirat, jika kita mengejar akhirat tentu
saja kita pasti akan mendapat kenikmatan dunia. Namun kita juga tidak boleh
terlalu mengejar akhirat kalau menyebabkan kita melupakan tugas kita di dunia. Maka
lakukanlah kedua makna tersebut dengan seimbang sehingga bisa mendapatkan
manfaatnya masing-masing.
C.
KESIMPULAN
1. Tajrid adalah mengosongkan sesuatu daripada yang lain. Bahwa jika
kita sedang menghadap Allah, maka penuhkanlah perhatian hanya kepada Allah dan
kosongkan perhatian daripada yang lain. Demikianlah juga jika engkau
mengerjakan sesuatu maka penuhkanlah perhatian kepada perbuatan tersebut dengan
niat kepada Allah dan kosongkan daripada yang lain dan hanya menghadapkan diri
kepada Allah.
2.
Iktisab adalah Sibuk mencari Dunia atau Cinta Dunia, orang yang tertimpa
penyakit cinta dunia ini sebenarnya tidak meyakini bahwa kehidupan yang
dijalaninya di dunia adalah sementara. Kenikmatan dan kesenangan yang
dikejarnya di dunia tidak ada artinya setelah ia mati.
3.
Kedua makna di atas tersebut sama sama mempunyai kemanfaatan, namun Kedua makna
tersebut haruslah seimbang, jika tidak seimbang maka tidak akan ada manfaatnya.
Ada yang dirugikan dan ada yang diuntungkan, jika kita mengejar dunia maka kita
tidak akan mendapatkan kenikmatan di akhirat nanti bahkan kita tidak akan
mendapatkan apa apa di akhirat, jika kita mengejar akhirat tentu saja kita
pasti akan mendapat kenikmatan dunia. Namun kita juga tidak boleh terlalu
mengejar akhirat kalau menyebabkan kita melupakan tugas kita di dunia. Maka
lakukanlah kedua makna tersebut dengan seimbang sehingga bisa mendapatkan
manfaatnya masing-masing.
[1] Muhammad Nasib
Ar-rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerbit Maktabah Ma’arif,
Riyadh, jilid 1, cetakan pertama, hlm 62
[2] Ahmad Musthafa
Al-Maraghi,Tafsir Al-Maraghi,CV Toha Putra, Semarang, 1989, hlm 311
[3] Muhammad Kamil
Hasan Al-Mahami, Ensiklopedia Al-Quran tematis, PT Kharisma Ilmu,
Jakarta, hlm 7-8
[4] Salim Bahreisy,
Said Bahreisy,Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, PT Bina Ilmu,
Surabaya, 1988, hlm 465